(Oleh: Dr. Muhsin Labib)
Bulan Muharam (Suro)
menjelang. Sebagian orang menganggapnya sebagai bulan kemenangan seraya
baku kirim pesan pendek berisi ucapan "Selamat Tahun Baru Hijriah",
berpuasa dan menyantuni anak-anak yatim. Namun, tidak sedikit umat Islam
di Indonesia dan negara lain meyakininya sebagai bulan duka seraya
menganggap hari kesepuluhnya sebagai puncak kedukaan tersebut. Itulah 10
Muharam, yang akrab disebut dengan "Asyura".
Terdapat
dua ‘tanggal merah' pada Muharam. Pertama adalah ‘tanggal merah'
nasional, yang dirayakan sebagai awal tahun baru Hijriah. Kedua adalah
‘tanggal merah' (baca: berdarah) yang dikenal dengan Asyura, yaitu 10
Muharam.
Ternyata, ‘tanggal merah' kategori kedua
telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi Indonesia, seperti di Jawa,
Melayu, dan Maluku. Di Jawa, pada bulan Muharam, tetangga saling
berkirim ‘bubur Sura' atau ‘jenang Suro', sebuah makanan khas Muharam
dan Asyura, yang berwarna putih (kesucian) dan bertabur warna merah
(kesyahidan). Sebagian orang Jawa melakukan meditasi untuk merenungi
diri di tempat-tempat sakral, melakukan "lek-lekan" (begadang) hingga
pagi hari di beberapa tempat yang dianggap sakral. Ada pula yang
melaksanakan upacara Grebeg Suro. Di Maluku dan Sulawesi, warga pesisisr
enggan melaut di bulan ini. Di Sumatera, terutama di Padang, Riau, dan
Aceh, diadakan upacara "Tabut" pada 10 Muharam. Bahkan, tarian Saman
khas Aceh diduga sebagai jejak upacara ratapan Asyura yang disertai
dengan pemukulan dada sebagai simbol kesedihan.
Ada
apa di 10 Muharam dan Asyura? Menurut Dr. Zafar Iqbal, pakar sejarah
budaya Persia dan Indonesia, dalam Kafilah Budaya (Citra: 2006),
tradisi-tradisi itu berakar dari peristiwa ‘tanggal merah' 10 Muharram
(tanggal monumetal pembantaian Husain bin Ali bin Abi Thalib) yang
terjadi di Karbala sekitar 89 tahun sejak wafatnya sang datuk, Muhammad
saw. Sayang, sebagian besar umat Islam tidak lagi mengingatnya. Yang
jelas, apa pun bentuk tradisinya, ada ‘tanggal merah' (peritiwa
berdarah) pada 10 Muharam.
Mengapa perlu diperingati?
Dendamkah? Menurut Antoane Bara, penulis Kristen asal Suriah, dalam
bukunya, The Saviour: Husain dalam Kristianitas (Citra:2007), pikiran
manusia mana pun yang mengamati perjalanan hidup Husain bin Ali, yang
dibantai bersama 73 anggota keluarga dan sahabatnya pada 10 Muharam,
sudah pasti merasakan getaran cinta yang aneh dalam hatinya.
Bagi siapa pun, dari mazhab mana pun, dan pemeluk agama apa pun, Husain
bin Ali adalah simbol dan inspirasi cinta keadilan. Karena itulah,
Mahatma Gandhi menjadikannya sebagai ikon kemerdekaan dan kemanusiaan.
"Saya belajar dari Husain cara meraih kemerdekaan," katanya seperti
dikutip dalam The Saviour.
Cinta yang diperagakan
dengan pengorbanan adalah cinta yang tidak bersyarat. Ia adalah spektrum
nilai, yang tidak hanya melahirkan ketaatan dan pengabdian, tetapi juga
menerbitkan api amarah dan kebencian terhadap rezim anti cinta. Ia
stabil, lestari, dan tak terperikan.
Demi pembuktian
cintanya pada ‘Sang Cinta', subjek rela meniadakan dirinya untuk
menggapai puncak kesempurnaan cintanya. Ia bagai laron yang hangus
karena terbakar cahaya yang dipujanya. Ia laksana semut yang tenggelam
dalam samudera madu yang dicintainya.
Cinta sejati,
kata Ibnu Arabi, "Hanya bisa dirasakan oleh peneguknya. Siapa pun, yang
belum pernah merasakan seteguk saja air cinta, pasti belum pernah
mengenalnya. Ketahuilah, cinta adalah minuman yang tak pernah memuaskan
pecandunya." Husain melakukan sacrifice demi menyelamatkan cinta sejati.
Cinta telah melahirkan semangat heroik menentang kezaliman.
Adakah tanggal merah (hari duka) dalam kalender Islam? Mengapa mesti
berduka dan meratap serta menangis? Menangis bukan hanya diperbolehkan
tetapi bahkan dianjurkan. Allah berfirman, "Maka hendaklah mereka
tertawa sedikit dan menangis banyak. (9:82)". Berduka dan meratap
tidaklah selalu bisa diasosiasikan dengan kelemahan dan pesimisme.
Namun, sebagaimana diajarkan pula oleh Sidharta Gautama, duka dapat
menjadi pemusnah kesombongan dan penuhanan diri. Karena itulah, doa
beriring rintih penyesalan akan dosa, yang dilantunkan seorang hamba
dalam kesendirian, lebih terdengar merdu di langit.
Siapakah simbol cinta keadilan yang mesti dikenang pada 10 Muharam?
Dengarlah sejenak untaian ‘puisi merah' Muhammad Iqbal Lahori,
Di Ka‘bah yang tinggi dan kisahnya
Beritakan limpahan darah di atas batu
Pelajarannya dimulai dari Ismail
Dan darah al-Husain akhir pelajaran
‘Tanggal merah' Asyura adalah momentum untuk menghayati cinta sejati.
Cinta sejati itulah yang membuat sang martir, Husain bin Ali, memekik
seraya mengangkat ke langit bayinya yang berlumur darah, akibat panah
yang menembus lehernya, "Ya Allah, terimalah pengorbanan kecil ini."
Bulan Suro perlu dikenang demi merawat cinta kepada kebenaran sekaligus
benci kezaliman. Tanpa cinta dan benci yang positif ini, perlawanan dan
perjuangan hanyalah sederet aksara tak bermakna dan huruf-huruf yang
mubazir. Inilah buhulan-buhulan iman yang harus terus terjuntai dengan
erat dan indah (al-urwah al-wutsqa).
Pekikan ‘pantang
hina!' yang dikumandangkannya sejak lebih dari 1400 tahun tahun lalu di
Sahara Nainawa telah meranggas dan memasuki lorong-lorong waktu serta
mengiang lestari di sanubari setiap pejuang keadilan di seluruh penjuru
planet bumi. Itulah cinta yang merah dalam kalbu yang putih, harmoni
merah-putih.
Sumber: (IRIB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik dan Berintelektual