INILAH REKAMAN ABADI YANG TIDAK TERBANTAHKAN.
INILAH REKAMAN ABADI YANG TIDAK AKAN PERNAH TERHAPUS.
INILAH REKAMAN ABADI YANG AKAN MENJADI BUKTI OTENTIK BAGI ORANG YANG BERAKAL SEHAT.
Warisan sejarah Islam, jika kita ingin bersikap obyektif, tidak
sepenuhnya bercerita mengenai keteladanan para sahabat Nabi, tetapi juga
bercerita mengenai pengkhianatan sahabat Nabi, saling caci bahkan
saling bunuh diantara sahabat Nabi. Membaca sejarah umat manusia yang
penuh dengan intrik dan tendensi rasanya sulit sekali menyimpulkan
kebenarannya seratus persen. Disamping itu, ketika kita membaca sejarah,
kita di ajak untuk menelusuri zona “spekulasi” antara asbab al-waqi’
dan motif sang pelakon. Disinilah dibutuhkan kearifan dan ketelitian
dalam menelusuri lembaran-lembaran sejarah apalagi sejarah pertikaian
awal umat Islam. Pada akhirnya, sejarah itu akan bertutur tentang hikmah
dan pelajaran berharga untuk umat selanjutnya.
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah RA yang berkata “Suatu saat kami pernah
makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin
Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih
baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau
SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang
beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”.
Sekarang mari kita lihat pendapat Quran mengenai kategori sahabat
yang berbeda-beda. Sahabat golongan pertama ditunjukkan oleh Allah dalam
ayat berikut:
Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangat
keras terhadap orang-orang kafir, (tetapi) berkasih sayang diantara
mereka. Engkau akan melihat mereka ruku dan sujud (shalat), memohon
anugerah Allah dan ridha-(Nya). Pada wajah – wajah mereka terdapat
tanda, bekas sujud mereka. Demikianlah sifat – sifat mereka dalam
Taurat; dan begitu pula dalam Injil seperti tanaman yang memunculkan
tunasnya, kemudian tunas itu menguatkannnya, lalu menjadi lebat, dan
tegak lurus diatas batangnya (memberikan) penanamnya kesenangan dan
harapan. Tetapi, membuat marah orang – orang kafir. Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang di antara mereka yang beriman dan beramal
saleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Fath : 29).
Sahabat-sahabat ini tidak diperdebatkan oleh Syi’ah dan Sunni.
Karenanya, tidak akan dibahas di sini. Akan tetapi, perhatikan apa yang
difirmankan Allah Yang Maha Bijak pada kalimat terakhir: “Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang di antara mereka yang beriman dan beramal
saleh ampunan dan pahala yang besar.” Perhatikan kata, “orang-orang di
antara mereka… “ Mengapa Allah tidak mengatakan “Allah telah menjanjikan
kepada semua orang dari mereka?” Karena tidak semua orang beriman.
Itulah yang mazhab Syi’ah coba sampaikan kepada dunia. mazbab Sunni,
kapan pun mereka bershalawat kepada Nabi Muhammad, mereka pun
bershalawat kepada semua sahabat, tanpa terkecuali. Mengapa Allah SWT
membuat kekecualian sedang mazhab Sunni tidak?
Lebih dari itu, ayat tersebut menyebutkan secara khusus orang-orang
yang setia bersama Nabi Muhammad, dengan arti taat kepadanya dan tidak
menentang atau menjelek-jelekkannya. Tentunya orang-orang munafik berada
di dekat Nabi dan berusaha mendekatkan diri mereka kepadanya, akan
tetapi tidak ada kaum Muslimin yang menyebutkan mereka berdasarkan ayat
yang berbunyi, “Orang-orang yang bersama Nabi Muhammad. “
Berkenaan dengan sahabat golongan kedua ini, Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang beriman! Apa yang terjadi dengan kalian! Apakah
sebabnya ketika kalian di perintahkan untuk berperang di jalan Allah
kalian merasa keberatan? Manakah yang lebih kalian sukai, dunia ini atau
kehidupan akhirat? Jika kalian tidak man berangkat perang, ia akan
mengazabmu dengan azab yang sangat pedih dan menggantikan kalian dengan
yang lain; tetapi Allah tidak akan merugikan kalian sedikitpun karena
Allah berkuasa atas segala sesuatu.(QS. at-Taubah : 38-39).
Ayat ini merupakan petunjuk yang jelas bahwa sahabat-sahabat tersebut
malas ketika ada seruan jihad dan perintah lain, sehingga mereka patut
mendapatkan peringatan Allah SWT. Ayat ini bukan satu-satunya contoh
ketika Allah mengancam akan menggantikan mereka: “…Apabila kalian
berpaling (dari jalan ini), ia akan menggantikanmu dengan kaum lain,
agar mereka tidak seperti kalian!” (QS. Muhammad : 38).
Dapatkah ditunjukkan siapa yang dimaksud ‘kalian’ pada ayat di atas?
Allah juga berfirman: “Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian
mengeraskan suaramu melebihi suara Nabi… agar tidak terhapus pahalamu
sedang kalian tidak menyadari. “ (QS. al-Hujurat : 2).
Hadis-hadis sahih dari mazhab Sunni menegaskan bahwa ada beberapa
sahabat yang suka menentang perintah Nabi Muhammad SAW dan berdebat
dengannya pada banyak peristiwa. Peristiwa tersebut di antaranya:
- Usai perang Badar, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk membebaskan
tawanan-tawanan perang sebagai tebusan dalam membayar fidyah tetapi para
sahabat ini tidak melakukannya;
- Pada perang Tabuk, Nabi Muhammad memerintahkan mereka menyembelih
unta untuk menyelamatkan nyawa mereka tetapi beberapa sahabat
menentangnya;
- Pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah, Nabi bermaksud berdamai dengan
orang-orang Mekkah tetapi sahabat-sahabat yang sama menen¬tangnya.
Bahkan mereka meragukan kenabian Nabi Muhammad SAW.
- Pada perang Hunain, mereka menuduh Nabi Muhammad tidak adil dalam
membagi – bagikan harta rampasan perang; Ketika Utsman bin Zaid diangkat
Nabi Muhammad menjadi pemimpin pasukan perang Islam, sahabat-sahabat
ini tidak menaati Nabi dengan tidak mengikutinya.
- Pada hari kamis yang sangat tragis Nabi ingin mengungkapkan
keinginannya, akan tetapi sahabat-sahabat yang sama Pula ini pun menuduh
Nabi tengah meracau dan ia mencegah Nabi mengungkapkan keinginannya.
Masih banyak lagi riwayat-riwayat seperti itu yang bahkan dapat ditemukan dalam Shahih al-Bukhari. Mengenai sahabat golongan ketiga, terdapat sebuah surah dalam Quran
yang seluruhnya bercerita tentang mereka yaitu surah al-Munafiqun
mengenai orang-orang munafik.
Di samping itu, banyak pula ayat mengenai Sahabat-sahabat ini. Allah berfirman:
Muhammad itu tidak lebih dari seorang Rasul telah berlalu rasul-rasul
sebelumnya. Apakah bila ia wafat atau terbunuh, kamu akan berpaling
dari agamamu? Barang siapa yang berpaling dari agamanya, tidak
sedikitpun ia merugikan Allah; Namun Allah (sebaliknya) akan memberikan
ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur (berjuang untuk-Nya) (QS. Ali
Imran : 144).
Ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat melarikan diri dari
perang Uhud,saat mereka mendengar berita bohong bahwa Nabi Muhammad
terbunuh. Meski di kemudian hari Allah SWT mengampuni mereka, akan
tetapi ayat di atas memberi suatu kemungkinan bahwa beberapa sahabat
akan meninggalkan Islam jika Nabi Muhammad meningggal. Tetapi Allah
membuat kekecualian “dan orang-orang yang bersyukur (berjuang
untukNya).“
Pada ayat lain Allah berfirman:
Hai, orang-orang beriman! Barang siapa di antara kalian yang
berpaling dari agamanya, Allah akan membangkitkan suatu kaum yang Allah
cintai dan merekapun mencintai-Nya,… yang bersikap lemah lembut kepada
orang-orang berirnan, tetapi bersikap keras kepada orang kafir, berjihad
di jalan Allah dan tiada pernah merasa takut terhadap kecaman
orang-orang. Itulah karunia Allah yang akan la berikan kepada
orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberiannya san
Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. al-Maidah : 54).
Kenyataan bahwa para sahabat Nabi bertengkar dan perang berkobar
setelah Nabi wafat sangatlah terkenal. Selain itu, para sahabat yang
terpecah-pecah ditunjukkan Allah SWT dengan ayat berikut:
Hendaknya ada di antara kalian, segolongan umat yang mengajarkan pada
kebaikan, menyuruh berbuat makruh, dan melarang berbuat munkar. Mereka
adalah orang-orang yang beruntung. Tetapi janganlah kalian seperti
orang-orang yang berpecah belah dan bersilang sengketa setelah datang
kepada kealian bukti yang nyata. Bagi mereka di sediakan azab yang
mengerikan. Pada hari itu ada orang-orang yang mukanya putih berseri,
dan anda orang-orang yang wajahnya hitam muram. Kepada mereka yang
wajahnya hitam muram dikatakan, “Apakah kalian ingkar sesudah beriman?
Maka rasakanlah siksa yang pedih karena keingkarannya!” (QS. Ali Imran :
104-106).
Ayat di atas menunjukkan bahwa ada segolongan umat yang senantiasa
beriman. Ayat ini menekankan baha segolongan umat di antara mereka tidak
mencakup semua orang. Akan tetapi kalimat berikutnya menjelaskan
golongan ketiga yang ingkar (berpaling) dari agama mereka setelah
Rasulullah wafat.
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari perhitungan akan ada dua
golongan, yang satu berwajah putih dan yang kedua dengan wajah hitam
muram. Itulah petunjuk lain bahwa para sahabat akan terpecah belah.
Berikut ini beberapa ayat lainnya yang menerangkan sahabat golongan ketiga serta perbuatan mereka:
Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengucapkan
sesuatupun (yang buruk), padahal sebenarnya mereka telah mengucapkan
fitnah, dan mereka mengatakannya setelah mereka memeluk Islam, dan
mereka merencanakan maksud jahat yang tidak dapat mereka lakukan. Dendam
mereka ini adalah balasan mereka atas karunia yang telah Allah serta
Rasulnya berikan kepada mereka! Jika mereka bertaubat itulah yang
terbaik untuk mereka, akan tetapi jika mereka berpaling (kepada
keburukan), Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di
dunia dan di akhirat. Dan mereka tidak mempunyai penolong di muka burni
ini (QS. at-Taubah : 74).
Akibatnya Allah membiarkan tumbuh kemunafikan di hati mereka, (kekal)
hingga hari itu merekar akan bertemu dengan-Nya, karena mereka
melanggar perjanjian dengan Allah, dan karena mereka terns menerus
berkata dusta.(QS. at-Taubah: 77).
Sifat arang Arab itu lebih pekat kekafirannya dan kemunafikannya, dan
tentunya lebih tidak mengerti perintah yang telah Allah turunkan kepada
Utusan-Nya, tetapi Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (QS.
at-Taubah : 97).
Tidakkah kamu pikirkan orang – orang yang mengakui dirinya telah
beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan orang – orang
sebelummu ? keinginan mereka (sebenarnya) adalah mengambil keputusan
(dalam pertikaian mereka) dengan Taghut, sekalipun mereka sudah
diperintahkan untuk menolaknya. Tetapi syaitan ingin menyesatkan mereka
sejauh – jauhnya (dari jalan yang benar). (QS. An-Nisa : 60).
Di hati mereka ada penyakit, dan Allah menambah penyakit itu. Begitu
pedih siksan yang mereka dapatkan, karena mereka berdusta (pada diri
mereka sendiri) (QS. al-Baqarah : 10).
Sekarang kita perhatikan ayat berikut.
Apakah masih belum tiba waktunya bagi orang-orang beriman supaya tunduk
hatinya dalam mengingat Allah dan kebenaran yang di turunkan (kepada
mereka) agar mereka tidak meniru-niru orang-orang yang telah di beri
kitab sebelumnya, setelah masa berlalu sehingga hati mereka menjadi
keras? Sebagian besar di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(QS. al-Hadid : 16).
Mungkin ada beberapa terjemahan yang menyatakan bahwa ayat di atas
menerangkan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini tidaklah benar
karena bertentangan dengan ayat itu sendiri. Pertama, Allah SWT tengah
menerangkan para sahabat dan kemudian menyamakan mereka dengan Yahudi
dan Nasrani.
Mengapa Allah berkata kepada kaum Yahudi dan Nasrani, “Apakah belum
tiba waktunya bagi orang-orang beriman agar mereka tunduk dalam
mengingat Allah… “ dan kemudian berkata, “dan janganlah. kalian seperti
orang-orang yang telah di beri kitab sebelumnya.. . “
Mengapa Allah SWT membuat perbandingan kaum Nasrani (Yahudi) dengan
kaum mereka sendiri? Apakah hal. ini masuk akal? Tentu tidak, Allah
tidak bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Akan tetapi, ayat ini turun
sebagai pertanyaan Allah berkenaan dengan beberapa orang kaum Muhajirin,
setelah 17 tahun Quran turun hati mereka belum yakin sepenuhnya
sehingga Allah mencela mereka. Pada kalimat terakhir, Allah menunjukkan
bahwa ada orarig-orang fasik di antara mereka.
Seperti yang kami sebutkan, ada beberapa ayat Quran yang mengagumi
sahabat golongan pertama. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut tidak meliputi
semua sahabat. Quran seringkali menggunakan sebutan ‘orang-orang
beriman di antara mereka’ atau ‘orang-orang yang pertama kali beriman di
antara mereka’ yang menunjukkan bahwa kata – kata tersebut tidak
menerangkan kepada semua sahabat. Sebenarnya ada orang-orang munafik
diantara sahabat Nabi. Jika orang – orang munafik ini diketahui mereka
pasti tidak lagi dikenal sebagai orang munafik tetepi sebagai musuh.
Selain itu, ketika Allah berfirman, “Aku telah ridha dengannya hingga
kini… “, tidak menyiratkan makna bahwa mereka akan juga berlaku baik
dimasa yang akan datang. Tidaklah dapat dipahami jika Allah memberikan
hak imunitas yang permanen kepada orang-orang yang telah berbuat baik
sebelumnya, tetapi kemudian mereka menumpahkan darah ribuan kaum
Muslimin sepeninggal Nabi Muhammad. jika demikian, artinya seorang
sahabat dapat menggugurkan semua aturan Allah SWT serta perintah
perintah Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, sebagaimana yang kami
sebutkan, mazhab Syi’ah tidak mendiskreditkan semua sahabat. Ada
sahabat-sahabat Nabi yang memang sangat kami hormati yaitu mereka yang
Allah puji dalam Quran.
Ayat-ayat dalam Quran ini tentunya tidak meliputi semua sahabat. Allah berfirman:
Dan orang-orang yang mula-mula (beriman) di antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Allah
telah ridha kepada mereka. la telah menyediakan bagi mereka surga yang
banyak mengalir sungai-sungai di dibawahnya untuk mereka tinggali
selamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar (QS. at-Taubah : 100).
Dan (bagaimanapun) di antara orang-orang Arab terdapat orang – orang
munafik, dan juga di antara orang-orang Madinah (ada) orang – orang yang
yang kemunafikan telah mendarah daging, yang engkau tidak ketahui (Hai,
Muhammad). Kami mengenali mereka dan kami akan menyiksa mereka dua kali
lebih pedih, kemudian mereka akan dilemparkan kedalam siksaan yang
nienyakitkan.(QS.at-Taubah : 101)
Ayat – ayat tersebut menunjukkan bahwa:
- Allah ridha kepada mereka, tetapi belum tentu ridha di masa datang;
- Allah menunjukan orang – orang yang pertama kali beriman di antara mereka. Artinya ia tidak menunjukan semua sahabat;
- PAda ayat berikutnya, Allah membahas tentang orang – orang munafik
di sekeliling Nabi yang berpura – pura menjadi sahabat sejati. Bahkan
Nabi Muhammad sendiri, berdasarkan ayat di atas, tidak mengetahui
mereka. Hal. ini sesuai dengan hadis Shahih al-Bukhari yang disebutkan
di atas bahwa Allah akan berkata kepada Rasul-Nya, “Engkau tidak
mengetahui apa yang telah di perbuat Sahabat-sahabatmu setelah engkau
tiada.“
Shahih al-Bukhari hadis 4375; diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad berkata kepada kaum Anshar :
Kalian akan menemukan kekufuran yang sangat besar sepening¬galku.
Bersabarlah kalian hingga kalian bertemu Allah dan Rasul¬Nya di telaga
Kautsar (telaga di surga). (Anas menambahkan, “Tetapi kami tidak
bersabar.”)
Shahih al-Bukhari hadis 5488; diriwayatkan dari Musaiyab bahwa dia bertemu Bara bin Azib dan berkata (kepadanya):
Semoga engkau hidup sejahtera! Engkau merasakan kebahagiaan sebagai
sahabat Nabi dan berbaiat kepadanya (al-Hudaibiyyah) di bawah pohon
(al-Hudaibiyyah). (Mengenai hal. ini, Bara berkata, “Wahai keponakanku,
Engkau tidak tahu apa yang telah kami perbuat sepeninggalnya.”)
Tentunya, terdapat ayat-ayat Quran di mana Allah menggunakan kata
kerja lampau tetapi dimaksudkan untuk masa sekarang atau masa yang akan
datang. Tetapi masalahnya bukan selalu hal. itu. Ada banyak ayat-ayat
Quran ketika Allah dengan jelas menyatakan bahwa ia mengubah
keputusan-Nya berdasarkan perbuatan kita setiap detik. Allah tidak
menempati ruang dan waktu tetapi la memiliki kekuasaan untuk mengubah
keputusan-Nya dalam dimensi waktu.
Tentunya la sudah lebih dulu mengetahui apa yang la kehendaki untuk
berubah kemudian, dan la Maha Mengetahui atas segala sesuatu. la tidak
memperlakukan seorang beriman dengan cara yang buruk saat ini, meskipun
la mengetahui bahwa orang beriman ini akan kafir di kemudian hari.
Untuk menjelaskan poin ini, lihat Quran seperti surah al-Anfal ayat
65-66, al-A’raf ayat 153, an-Nahl ayat 110 dan 119, ar-Ra’d ayat 11, di
mana Allah SWT dengan jelas menyatakan bahwa ia mengubah keputusan-Nya
atas dasar perbuatan kita.
Anda dapat menemukan ayat-ayat serupa dalam Quran. Oleh karenanya,
keputusan Allah tentang manusia berubah setiah waktu berdasarkan
perbuatan kita. Jika kita berbuat baik, la akan ridha kepada kita, dan
jika kita berbuat buruk, la akan murka, dan seterusnya. Para sahabat
tentu tidak terlepas dari aturan ini. Siapapun yang berbuat kebajikan,
Allah akan ridha dengan kepadanya, tidak memandang apakah ia sahabat
Nabi atau bukan.
Allah Maha Adil. la tidak membeda-bedakan antara sahabat dan
orang-orang yang hidup saat itu. Tidak ada seorangpun yang memberikan
jaminan masuk surga jika ia berbuat jahat, menumpahkan orang – orang
yang tidak berdosa. Jika tidak, maka Allah tidak adil. Allah tidak adil.
Allah berfirman dalam Quran “Setiap diri bertanggung jawab atas
segala perbuatannya.” (QS.al-Mudatstsir : 38); “Penuhilah janjimu, maka
Aku akan memenuhi janji- Ku.” (QS. Al-Baqarah : 40 ).
Mari kita perhatikan ayat-ayat Quran berikut yang menunjukkan secara
jelas bahwa seseorang yang sangat mulia, yang pantas masuk surga, dapat
menghanguskan semua perbuatan baiknya dalam sekejap. Maka janganlah
menilai perbuatan baik seseorang yang pernah diperbuatnya, jika ada,
kita harus senantiasa melihat hasil akhir setiap orang.
Bahkan Nabi Muhammad sendiripun tidak mengetahui takdirnya hingga ia
wafat (yaitu hingga ia melalui ujian terakhir) karena ia juga memiliki
kebebasan untuk berbuat buruk. Allah berfirman:
Hai Rasulullah, jika engkau mempersekutukan Allah, amal salehmu akan
terhapus, dan engkau termasuk orang-orang yang merugi (QS. az-Zumar :
65).
Kalau amal saleh Rasul sendiripun terancam terhapus, jelaslah
bagaimana kita menilai para sahabat. Tentu saja Nabi Muhammad tidak
menghapus perbuatan baiknya, tetapi ada kemungkinan kalau amal
salehnyapun dapat terhapus.
Dan jika di antara kalian yang berpaling dari agamanya dan mati dalam
keadaan kafir, maka hapuslah semua pahala amal kebajikannya, di dunia
ini dan akhirat, dan mereka akan menjadi penghuni neraka selamanya (QS.
al-Baqarah : 277).
Orang – orang yang kembali kafir setelah beriman dan semakin
meningkat kekafirannya, sekali – kali tidak akan diterima taubatnya dan
mereka itu adalah orang – orang yang sesat (QS. Ali Imran : 90).
Pada hari kiamat, ada orang – orang yang wajahnya putih bercahaya dan
ada orang – orang yang wajahnya hitam kelam. Kepada mereka berwajah
hitam dikatakan : “ Mengapa kalian sesudah beriman ? Rasakanlah siksaan
ini karena kekafiranmu !” (QS. Ali Imran : 106).
Orang yang telah beriman, lalu ia kafir, kemudian ia beriman kembali,
lalu kafir kembali, dan semakin pekat kekafi’rannya, Allah tidak akan
mengampuni dan menunjuki mereka jalan (QS. an-Nisa : 137).
Maka, sangatlah mungkin bagi seorang beriman yang telah diridhoi
Allah, menjadi kafir di kemudian hari. Sebaliknya, jika seseorang telah
dijanjikan bahwa Allah meridhainya selamanya dan tanpa syarat, tidak
masalah apakah ia menumpahkan darah orang-orang tidak berdosa atau
berbuat jahat di kemudian hari, berarti ia tidak lagi mendapat cobaan
dari Allah. Hal. ini bertentangan dengan banyak ayat Quran.
Alquran merekam kualitas keimanan kaum muslimin di sekitar nabi (red :baca sebagai shahabat), diantaranya dicantumkan dalam surat Attaubah.
Pada beberapa puluh ayat pertama, menerangkan tentang perintah untuk
memutuskan perjanjian dengan kaum musyrikin quraish. Sedang ayat-ayat
berikutnya menceritakan kualitas orang orang yang mengaku islam di
sekitar nabi (= shahabat). Ayat 100 yang dijadikan landasan ‘udul’ nya
sebagian shahabat oleh sebagian ulama sunni misalnya, langsung disambung
dengan ayat 101 yang menceritakan bahwa sebagian lainnya adalah
munafik, serta sebelumnya ayat 97-98 menjelaskan bahwa sebagian muslim
disekitar nabi itu adalah badui yang ‘lebih wajar tidak mengetahui
hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasulnya’, ‘amat sangat
kekafirannya’, ‘merasa rugi menafkahkan zakat’ dll. Sebagian lagi
diterangkan dalam ayat 102 adalah “mereka mencampur-baurkan perkerjaan
yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk”.
Bahkan dalam memahami QS Attaubah:100 (dan 117) di atas dimana Allah
mengatakan Ridho terhadap mereka. Maka ayat tersebut menunjuk pada
SEBAGIAN (bukan SELURUHNYA) diantara Muhajirin dan Anshar yang pada
peristiwa hijrah (“DI ANTARA orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”) + orang-orang muslim
lainnya yang mengikuti mereka dengan baik. Orang yang tersangkut dalam
peristiwa hijrah paling hanya ratusan orang dan bukan 140000 orang,
apalagi Allah mengatakan bahwa hanya SEBAGIAN diantara mereka yang
diridhoi oleh Allah SWT jadi mungkin hanya puluhan saja yang masuk dalam
QS 9:100 tersebut. Untuk orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini maka
kaum muslim diperintahkan menghormati mereka. Sebagian besar diantara
mereka ini adalah 70 syuhada dalam perang uhud.
Murtad bermakna telah mengubah hukum-Nya dan Sunnah Nabi-Nya seperti disinyalir dalam QS 3:144 dan 5:54.
Murtad atau kafir bermakna : “mengkhianati janji setia atau
meninggalkan wasiat atau membelot dari kesetiaan” dan tidak di artikan
keluar dari agama islam (bukan kafir tulen, bukan murtad tulen)
Kebanyakan dari 140.000 orang tersebut masuk islam karena menyerah
dalam perang Khaibar, ataupun Fatah Mekkah serta perang-perang lain yang
dilakukan dalam beberapa tahun terakhir menjelang wafatnya Rasulullah.
Sebagian diantara orang yang menyerah (dan mengaku sebagai muslim) ini
bahkan memiliki kedengkian yang besar terhadap Rasulullah dan orang
orang terdekatnya karena kekalahan dalam peperangan dengan Rasulullah
SAAW, karena terbunuhnya anggota keluarga mereka oleh Rasulullah dan
orang-orang terdekatnya.
Tentang Syi’ah kafirkan sahabat ??
Murtad atau kafir bermakna : “mengkhianati janji setia atau
meninggalkan wasiat atau membelot dari kesetiaan” dan tidak di artikan
keluar dari agama islam (bukan kafir tulen, bukan murtad tulen).. Syi’ah
menganggap mayoritas sahabat pasca wafat Nabi SAW tidak patuh, jadi
hanya segelintir yang selamat di haudh.. Namun mayoritas sahabat Nabi
SAW yang wafat masa Nabi SAW hidup mayoritas masuk surga..
Kafir dan Murtad yang dimaksudkan syi’ah bukan seperti kafirnya Abu
Thalib versi Sunni, sama sekali tidak.. Syiah meski memiliki beberapa
kritikan terhadap para khalifah namun mereka tidak memandangnya sebagai
orang murtad. Apabila pada sebagian riwayat Ahlusunnah terdapat
penyandaran kemurtadan terhadap para sahabat Rasulullah Saw maka Syiah
tidak memaknainya sebagai kemurtadan dalam pengertian teknis teologis.
Kafir dan murtad versi syi’ah dapat diumpakan seperti kafir/murtad nya orang yang MALAS SHALAT FARDHU
Adapun sahabat Nabi SAW diluar yang 7 orang seperti Hujr bin Adi dll tetap dianggap ahli surga..
.
Rasulullah (Saw.) mengatakan bahawa majoriti sahabat telah menjadi
murtad selepas kewafatannya (bukan kafir tulen, bukan murtad tulen
tetapi tidak patuh pada wasiat), kerana mereka telah mengubah atau
membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah (Saw.). Hanya sedikit
sahaja bilangan mereka terselamat. Syi‘ah tidak mengkafirkan mereka
tetapi al-Bukhari dan Muslim telah mencatat di dalam Sahih Sahih mereka
mengenai perkara tersebut.
.
Seperti dalam hadis Imam Bukhari juga dari Ibnu Umar, ia mendengar Nabi saw. bersabda:
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِى كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kamu kembali menjadi kafir sepeninggalku nanti, sebagian dari kamu menebas leher sebagian yang lain.”
Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Bakrah, Jarir dan Ibnu
Abbas dari Nabi saw. (Shahih Bukhari,9/63-64, Shahih Muslim, 1/58)
.
Shahih Bukhari,Hadits No.3100 :
3100. Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah
mengabarkan kepada kami Sufyan telah bercerita kepada kami Al Mughirah
bin an-Nu’man berkata telah bercerita kepadaku Sa’id bin Jubair dari
Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (pada hari qiyamat) dalam
keadaan telanjang dan tidak dikhitan. Lalu Beliau membaca firman Allah
QS al-Anbiya’ ayat 104 yang artinya (Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan yang pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu
janji yang pasti dari Kami. Sesungguhnya Kamilah yang akan
melaksanakannya). Dan orang yang pertama kali diberikan pakaian pada
hari qiyamat adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan ada segolongan orang
dari sahabatku yang akan diculik dari arah kiri lalu aku katakan: Itu
Sahabatku, Itu sahabatku. Maka Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya
mereka menjadi murtad sepeninggal kamu. Aku katakan sebagaimana ucapan
hamba yang shalih (firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 117 – 118 yang
artinya (Dan aku menjadi saksi atas mereka selagi aku bersama mereka.
Namun setelah Engkau mewafatkan aku…) hingga firman-Nya (….Engkau Maha
Perkasa lagi Maha bijaksana).
Dengan pandangan sunni maka tingkah laku Muawiyah (shahabat yang
masuk islam setelah fatah mekkah ?) yang menyerang kekhalifahan Ali
dianggap ‘atas kehendak Allah’, tidak secuilpun ulama sunni mengecam
Muawiyah bahkan menceritakan kebaikan Muawiyah dalam banyak hadist,
Mengapa? karena Muawiyah adalah sahabat nabi !. Sedangkan ulama syiah
mengecam tingkah laku Muawiyah habis-habisan. Ulama sunni juga
menceritakan kebaikan Abu Sufyan (sahabat yang masuk islam pada fatah
mekkah) karena dia adalah sahabat, sedangkan ulama syiah menceritakan
busuknya kebencian Abu Sufyan terhadap islam.
Kaum syiah menolak ijtihad Umar bin Khattab tentang sholat Tarawih
dan Nikah Mutah maupun dalam beberapa hal lainnya karena dianggap
bertentangan dengan kata-kata Rasulullah SAAW sendiri. Karena kaum syiah
berani menolak ijtihad Umar maka dikatakan menodai kesucian sahabat
Rasul. Kaum syiah juga menolak keras ijtihad Abu Bakar dalam hal ‘Tanah
Fadak’, yang mengakibatkan memutus urat nadi ekonomi ahlulbait nabi.
Karena penolakan ini maka kaum syiah dianggap mengecam shahabat. Kaum
syiah juga menolak ijtihad Aisyah yang menggerakkan ribuan muslim
menyerang khalifah Ali sehingga mengakibatkan ribuan kaum muslimin
tewas. Karena penolakan ini maka dianggap kaum syiah menodai kehormatan
sahabat nabi.
Saya kutipkan sebagian ayat-ayat dalam surat attaubah tsb: Di antara
orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam
kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi)
Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali
kemudian mereka akan di kembalikan kepada azab yang besar. (QS. 9:101).
Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka termasuk
golonganmu; padahal mereka bukan dari golonganmu, akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (QS. 9:56).
Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan:”Nabi
mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah:”Ia mempercayai
semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai
orang-orang mu’min, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di
antara kamu”. Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka
azab yang pedih. (QS. 9:61).
Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari
keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang labih patut mereka cari
keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mu’min. (QS. 9:62).
Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya barangsiapa menentang Allah dan
Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di
dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS. 9:63).
Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan
(sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, DAN TELAH MENJADI KAFIR SESUDAH BERIMAN, dan
menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak
mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu
adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah
akan mengazab mereka denga azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan
mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong
di muka bumi. (QS. 9:74).
SYi’AH : Sahabat ada yang baik, ada yang jahat dan ada yang munafiq
(berdasarkan nas). Oleh karena itu para sahabat harus dinilai dengan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw (yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an
secara keseluruhan).
SYi’AH : Segala bentuk pujian atau celaan dari Allah swt kepada
sahabat penentang Imam Ali adalah dari Sifat fi’l (sementara), bukan
dari Sifat Zat (kekal). Karena disebabkan sifatnya sementara (saat itu)
selanjutnya tergantung dari kelakuan/ perbuatan mereka kemudian apakah
bertentangan dengan nas atau tidak.
AHL-SUNNAH : Kepatuhan kepada semua Sahabat (Sa’ira Ashab al-Nabi)
(al-Ibanah, hlm. 12) kenyataan al-Asy’ari memberikan implikasi:
- Sahabat semuanya menjadi ikutan. Tidak ada perbedaan di antara Sahabat yang mematuhi nas, dan Sahabat yang bertentangan nas.
- Mentaqdiskan (mensucikan) Sahabat tanpa menggunakan penilaian
al-Qur’an, sedangkan banyak terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang mencela
perbuatan mereka, karena mereka bertentangan dengan nas (lihat umpamanya
dalam Surah al-Juma’at (62): 11).
- Mengutamakan pendapat sahabat dari hukum Allah (swt) seperti hukum
seseorang yang menceraikan isterinya tiga kali dengan satu lafaz, walau
menurut al-Qur’an jatuh satu dalam satu lafaz dalam Surah al-Baqarah
(2): 229, yang terjemahannya, “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.” Tetapi ketika Khalifah Umar mengatakan jatuh tiga mereka mengikuti
(al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 137), Ahl-Sunnah al-Asya’irah
menerimanya dan dijadikannya “hukum” yang sah sekalipun bertentangan nas (al-Farq baina l-Firaq, hlm. 301).
- Mengutamakan Sunnah Sahabat dari Sunnah Nabi Saw seperti membuang
perkataan Haiyy ‘Ala Khairil l-’Amal di dalam azan dan iqamah oleh
khalifah Umar, sedangkan pada waktu Nabi hal itu merupakan sebagian dari
azan dan iqamah. Begitu juga Khalifah Umar telah menambahkan perkataan
al-Salah Kherun mina l-Naum (al-Halabi, al-Sirah, Cairo, 1960, II, hlm.
110).
- Kehormatan Sahabat tidak boleh dinilai oleh al-Qur’an, karena
mereka berkata: Semua sahabat adalah adil (walaupun bertentangan dengan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw).
- Menilai kebenaran Islam adalah menurut pendapat atau kelakuan
Sahabat, dan bukan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Mereka berkata
kebenaran berada di lidah Umar. Karena itu mereka berpegang kepada pendapat Khalifah Umar yang mengatakan dua orang saksi lelaki di dalam
talak tidak dijadikan syarat jatuhnya talak. Sedangkan Allah (swt)
berfirman dalam Surah al-Talaq (65): 3, terjemahannya, ” dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil.” Mereka juga berkata,”
Iman Abu Bakr jika ditimbang adalah lebih berat dari iman umat ini.”
Sekiranya iman khalifah Abu Bakr itu lebih berat dari iman keseluruhan
umat ini termasuk iman Umar dan Uthman, kenapa tidak dijadikan kebenaran
itu pada lidah Abu Bakr? Di tempat yang lain mereka berkata,” Nabi Saw
tidak segan kepada Abu Bakr dan Umar tetapi beliau malu kepada Uthman.”
Pertanyaannya, kenapa Nabi Saw tidak malu kepada orang yang paling
berat imannya di dalam umat ini? Dan kenapa Nabi Saw tidak malu kepada
orang yang mempunyai lidah kebenaran? Pendapat-pendapat tersebut telah
disandarkan kepada Nabi Saw dan ianya bertentangan nas dan hakikat
sebenar, karena kebenaran adalah berada di lidah Nabi Saw dan al-Qur’an.
- Meletakkan Islam ke atas Sahabat bukan Rasulullah (Saw.), mereka
berkata: Jika Sahabat itu runtuh, maka runtuhlah Islam keseluruhannya
lalu mereka jadikan “aqidah” , padahal Sahabat sendiri berkelahi, caci-mencaci dan berperang sesama mereka.
- Mengamalkan hukum-hukum Sahabat (Ahkamu-hum) dan Sirah-sirah
mereka adalah menjadi Sunnah Ahli Sunnah (al-Baghdadi, al-Farq baina
l-Firaq,hlm. 309), sekalipun bertentangan dengan nas, karena
“bersepakat” dengan Sahabat adalah menjadi lambang kemegahan mereka.
Mereka berkata lagi:”Kami tidak dapati hari ini golongan umat ini yang
bersepakat atau mendukung semua Sahabat selain dari Ahlu s-Sunnah wa
l-Jama’ah (Ibid,hlm.304). Karena itu Ahlu l-Sunnah adalah mazhab yang
mementingkan “persetujuan/ kesepakatan” dari Sahabat sekalipun Sahabat
kadang bertentangan dengan nas.
- Mempertahankan Sahabat sekalipun Sahabat bertentangan dengan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW dengan berbagai cara , Jika seorang
pengkaji ingin mengetahui kedudukan sebenarnya tentang sahabat
itu sebagaimana dicatat di dalam buku-buku muktabar, mereka berkata:”
Ini adalah suatu cacian kepada Sahabat sekalipun hal itu telah ditulis
oleh orang-orang yang terdahulu.”
Sebaliknya apabila bahan-bahan ilmiah yang mencatatkan sahabat
tertentu yang melakukan perkara-perkara yang bertentangan al-Qur’an,
mereka menganggapnya pula sebagai cerita dongeng. Lihatlah bagaimana
mereka menjadikan sahabat sebagai aqidah mereka walaupun hal itu
bukanlah dari rukun Islam dan rukun Iman!
SYI’AH : Memihak kepada Sahabat yang benar di dalam menilai sesuatu urusan/ perkara.
AHL-SUNNAH : Tidak memihak kepada semua sahabat jika terjadi
pertengkaran atau peperangan di kalangan mereka (al-Ibanah, hlm. 12;
al-Maqalat, II, hlm. 324).
Karena itu pendapat Ahl-Sunnah al-Asy’ari adalah bertentangan dengan
firman Allah (swt) dalam Surah al-Hujurat (49):9, yang terjemahannya,
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,” Dan juga bertentangan dengan firmanNya dalam Surah Hud (11): 113,
terjemahannya, ” Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang
zalim, maka kamu akan disentuh api neraka.” Karena itu pendapat al-Asy’ari adalah bertentangan dengan nas karena tidak ada pengecualian di dalam mendukung kebenaran.
“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUMPULKAN UMATKU Di ATAS KESESATAN”
Hadis diatas membuktikan pendukung Imam Ali tidak sesat :
- Al Quran tidak dapat dipahami dengan tepat tanpa pendampingnya, yakni ahlulbait Rasul yang suci dari kesalahan dalam menafsir
- Adakah Ali bagian daripada umat ataupun tidak ?
- Adakah golongan menentang Abubakar cs yang terdiri dari Salman,
`Ammar, Abu Dhar, al-Miqdad, Ibn `Ubbad dll termasuk di dalam umat ?
- Bagaimana anda berhujah dengan hadis tersebut sedangkan orang
seperti mereka telah membelakangi Abubakar cs ? Sedangkan umat tidak
mencela mereka dan persahabatan mereka dengan Rasulullah adalah baik!
Allah dan Rasulnya mengangkat Imam Ali sebagai Khalifah setelah
Rasulullah di Ghadirkhum. Pengangkatan tersebut juga disaksikan oleh
Abubakar, Umar dan Usman serta ribuan sahabat lainnya. Ironisnya
Abubakar Umar cs melawan pengangkatan Imam Ali secara sembunyi dengan
membuat rapat gelap untuk menjauhkan Imam Ali dari kedudukannya sebagai
khalifah yang sah.
Akhir-akhir ini perbincangan mengenai madzhab Ahlul Bait (Syi’ah)
sedang mengharu-biru. Bermula dari maraknya kontroversi mengenai nikah
mut’ah, yang dianggap sebagai nikah yang dibolehkan madzhab Syi’ah,
sampai kepada rekomendasi pelarangan madzhab tersebut di tanah air.
Sayangnya, dilihat sebagai suatu wacana, perbincangan tersebut lebih
diwarnai emosi dan dipenuhi stereotif yang kurang bertanggung jawab.
Kajian yang berwawasan, apalagi yang memberi ruang kepada Syi’ah untuk
memunculkan perspektifnya, mungkin belum terbuka. Oleh karenanya,
menutup kekurangan yang ada, tulisan ini hendak menjelaskan satu
perspektif penting Syi’ah, yang berlainan dengan madzhab Ahlu Sunnah
wal-Jama’ah (Sunni). Yakni, perspektifnya mengenai shahabat Nabi saw.
Perspektif ini secara historis merupakan cikal bakal lahirnya gerakan
Syi’ah sendiri.
Berbeda dengan Sunni, yang cenderung tidak membuat penggolongan,
Syi’ah mengelompokkan shahabat Nabi saw menjadi empat kelompok.
Pengelompokannya itu sendiri didasarkan kepada nilai ‘keadilan’ yang
dipraktekkan shahabat semasa Nabi saw hidup hingga menjelang wafatnya.
Yang pertama dari kelompok tersebut adalah shahabat yang sangat
istimewa, yang juga dikenal dengan istilah Ahlul Bait Nabi saw. Yakni
mereka yang karena kekerabatan mereka dengan nabi, ketinggian akhlak dan
kemurnian jiwa yang dimiliki dan kekhususan yang telah dikaruniakan
Allah dan rasul-Nya kepada mereka hingga tiada satu pun orang yang dapat
menyainginya.
Kedua adalah kelompok shahabat yang baik yang telah mengenal Allah
dan Rasul-Nya dengan pengetahuan yang sempurna. Ketiga adalah kelompok
shahabat yang memeluk Islam dan ikut Rasulullah karena suatu tujuan,
baik menginginkan sesuatu atau takut pada sesuatu. Dan yang terakhir
adalah kelompok munafik yang “menemani” Rasul karena ingin
memperdayakannya.
Karena adanya kondisi dan motif yang berbeda tersebut, Syi’ah
menyatakan bahwa tidak semua shahabat adalah adil. Masyarakat muslim
tidak sepatutnya menjadi buta tuli terhadap apa yang pernah diperbuat
seorang shahabat, terutama dosa dan kezalimannya. Di lain pihak, Sunni
berpendapat bahwa para shahabat Nabi saw adalah sama dan sejajar baik
dalam kedudukan maupun dalam keadilannya terhadap Islam. Dan tidak
seorang pun di antaranya yang diistimewakan, tak terkecuali istri-istri,
anak-anak, menantu dan keluarga lain Nabi saw sendiri.
Penggolongan shahabat kalaupun dikenal dalam tradisi Sunni hanya
bersifat generatif. Artinya dilihat dari kedekatannya dengan Nabi dalam
segi waktu. Sehingga penggolongannya dibagi menjadi golongan shahabat,
tabi’in, tabi’at-tabi’in dst. Sebagian membaginya berdasarkan mula
pertama masuknya para shahabat ke dalam Islam, seperti tingkatan
as-Sabiqun al-Awwalun. Dan ada juga yang membagi bahwa Empat Khulafa’
Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman dan Ali, pada
tingkatan yang paling atas dari sekalian shahabat, disusul kemudian oleh
enam shahabat lain yang dijamin masuk sorga.
Untuk menjadi wacana yang ‘benar’ dan bermanfaat, tentunya perspektif
Syi’ah mengenai shahabat tersebut secara intelektual haruslah
mendapatkan sekaligus legitimasi, baik yang bersifat historis maupun
futuris. Legitimasi historis mengandaikan bukti intelektual. Yakni
adanya indikator untuk menetapkan bahwa ’sejarah’ yang bersangkutan
memang ada. Sedangkan legitimasi futuris mensyaratkan bahwa perspektif
itu mempunyai implikasi penting sedikitnya bagi masa depan pencerahan
Islam, terutama pasca Nabi saw wafat.
Tentang indikasi ketidakadilan menurut Syi’ah dapat dilihat dari
beberapa peristiwa berupa pembangkangan, penjatuhan wibawa Nabi, dan
yang terpenting adanya penghalangan terhadap Nabi untuk menegaskan
wasiatnya dalam bentuk tertulis. Di antara peristiwa tersebut, misalnya
peristiwa Perdamaian Hudaibiyah. Sebagian shahabat tidak senang atas
penerimaan Nabi saw terhadap persyaratan yang diajukan kafir Quraisy.
Umar bin Khattab sampai mendatangi Nabi saw dan berkata: “Apakah benar
bahwa engkau adalah Nabi Allah yang sesungguhnya?”. Kemudian setelah
berdebat dengan Nabi saw, mengulangi perkataan itu kepada Abu Bakar. Dan
ketika beliau menyuruh menyembelih binatang korban yang dibawa para
shahabat serta perintahnya untuk mencukur rambut, tidak satu shahabat
pun yang mematuhi.
Selanjutnya bentuk ketidakadilan lain dapat dilihat dari adanya motif
politis yang menghalang-halangi Nabi saw mengukuhkan wasiatnya agar
dituliskan di atas kertas. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai
Tragedi Hari Khamis itu, terjadi tiga hari menjelang Nabi saw wafat.
Para shahabat berselisih. Sebagian mereka enggan mematuhi Nabi saw, dan
bahkan menuduhnya telah meracau sampai Nabi marah sekali dan mengusir
mereka dari rumahnya tanpa menuliskan apa-apa. Perkataan Umar Bin
Khattab yang menyatakan, bahwa “Nabi sudah terlalu sakit sementara
Al-Qur’an ada di sisi kalian, maka cukuplah bagi kita Kitabullah”,
menurut Syi’ah merupakan bentuk langsung penolakan hadits Nabi. Yakni
yang menyuruh para shahabat berpegang kepada Kitabullah dan Itrah Ahlul
Bait Nabi.
Kemudian dua hari menjelang wafat Nabi saw, sebagian shahabat kembali
mencela perintah Nabi. Yakni dalam pengangkatan Usamah sebagai komandan
ekspedisi untuk memerangi Roma. Menurut para shahabat, bagaimana
mungkin Nabi mengangkat orang yang baru berumur delapan belas tahun
menjadi komandan para shahabat besar. Nabi saw sampai mengulang-ulang
perintahnya, namun para shahabat tetap enggan dan bermalas-malasan di
Jurf.
Itulah beberapa peristiwa yang tercatat dalam sejarah Islam. Penting
dikemukakan di sini bahwa peristiwa-peristiwa di atas tidak hanya
diberitakan oleh sumber-sumber Syi’ah. Shahih Bukhari dan Muslim, yang
notabene merupakan sumber terpercaya madzhab Sunni, pun memberitakannya.
Mengenai hal ini, DR Muhammad al-Tijani al-Samawi, seorang Wahabi
Tunisia yang kemudian menjadi pengikut Syi’ah, mempunyai komentar. Bahwa
seandainya orang alim Syi’ah menukilnya dari kitab mereka sendiri, maka
aku tidak akan mempercayainya sama sekali. Namun ketika ia nukil dari
kitab shahih Ahlu Sunnah sendiri, maka tak ada jalan untuk mencelanya.
+++
Maksud Syi’ah selalu memunculkan peristiwa-peristiwa seperti
disebutkan di atas tentu sudah umum diketahui, bahwa yang berhak atas
kepemimpinan pasca Nabi adalah Ali bin Abi Thalib. Ali memenuhi kriteria
sebagai Itrah Ahlul Bait Nabi yang keadilannya (keutamaannya) tidak
disangsikan lagi. Dibandingkan para shahabat lain, orang pasti kesulitan
untuk mencari cela, dosa dan kezaliman Ali. Namun sejarah telah
berbicara lain, di kala keluarga Ali sibuk mengurus jenazah Nabi saw,
Abu Bakar dilantik dengan tergesa-gesa menjadi Khalifah atas prakarsa
Umar bin Khattab. Ali sendiri, bersama istrinya Fatimah, putri tercinta
Nabi, terpaksa memberikan bai’at atas pengangkatan itu setelah diancam
akan dibakar rumahnya.
Sejarah telah berlalu, namun perspektif Syi’ah untuk tetap berpegang
pada Itrah Ahlul Bait Nabi dan keadilannya sampai kini tentu mempunyai
raison d’etre. Maka sampailah kita kepada persoalan mengenai persyaratan
bahwa suatu perspektif mesti mempunyai implikasi untuk menjadi
bermanfaat. Tentang hal ini dijawab oleh Syi’ah dengan berbagai fenomena
yang terjadi di dunia Sunni. Yang terpenting dan saling berhubungan di
antaranya adalah bahwa hilangnya perspektif keadilan para shahabat
berpengaruh pada manipulasi data, distorsi penafsiran serta peminggiran
wacana dan keteladanan dalam Islam. Hal tersebut bisa dilihat dari
hilangnya wacana mengenai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di
akhir masa hidup Nabi, yang sudah tentu dalam perspektif Syi’ah dapat
menjelaskan keberpihakannya kepada Ali. Bahkan pemberitaan mengenai
peristiwa di akhir masa hidup Nabi dalam dunia Sunni cenderung
ditutup-tutupi dengan alasan “menjaga segala kemuliaan para shahabat”.
Konsekuensi lain adalah pengaruhnya atas kualitas kepemimpinan pasca
Nabi. Menurut Syi’ah, Sunni pasti kesulitan untuk mencari alasan,
bilamana dipertanyakan tentang apa dasar dan alasan keabsahan khilafah
Abubakar misalnya. Tidak demikian apabila pertanyaan semacam itu
dipertanyakan kepada Syi’ah atas penetapannya pada khilafah Ali, yang
alasan dan dasarnya terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Oleh
karenanya khilafah pasca Nabi versi Sunni kehilangan legitimasinya
ketika ia dikembalikan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Yang berkembang
kemudian dalam pemikiran politik Sunni adalah ijtihadz tanpa dasar
dengan alasan yang semena-mena. Contoh paling ekstrim mengenai ini
adalah tragedi pembantaian cucu Nabi, Husein, oleh pasukan Yazid bin
Muawiyah. Atas pembantaian itu Sunni cukup memberi alasan bahwa Yazid
sedang berijtihadz. Bilamana ia benar maka mendapat dua pahala,
sedangkan bilamana salah mendapat satu pahala. Padahal terdapat Sunnah
Nabi yang menyuruh kaumnya untuk mencintai ahlul bait Nabi. Kesimpulan
Syi’ah mengenai hal ini adalah bahwa Sunni telah mengalahkan Sunnah Nabi
dengan ijtihadznya.
Lebih jauh lagi adalah adanya peminggiran wacana dan keteladan Ahlul
Bait Nabi. Siti Fatimah, yang oleh Nabi sendiri digelari “ibu bagi
ayahnya” karena kecintaan dan ketakdhiman putrinya tersebut kepada
beliau, jarang sekali menjadi rujukan dan kajian di dalam Sunni. Adanya
pembekuan madzhab fiqh menjadi empat madzhad di dalam Sunni, yakni
Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali, menurut Syi’ah adalah juga
konsekuensi langsung dari peminggiran Ahlul Bait Nabi. Padahal ada
sumber penting yang lebih dekat, baik secara kekerabatan maupun waktu,
yakni Imam Jafar al-Shadiq, yang tidak lain adalah cicit Nabi dari
keturunan Fatimah. Bahkan sejarah sendiri mencatat bahwa keempat imam
madzhab merupakan murid-murid Imam Jafari’, sehingga Imam Jafari’
digelari “guru para imam”.
Dari uraian di atas, dengan demikian menjadi jelas bagi Syi’ah, bahwa
perspektif mengenai keadilan para shahabat mempunyai legitimasi
historis maupun futuris. Dan perspektif itu baginya tidak hanya berhenti
dalam masalah khilafah Ali saja. Pada kenyataan historis dan
sosiologis, eliminasi perspektif itu akan berpengaruh pada ruang waktu
yang lebih luas, serta pencerapan kebenaran Islam yang lebih dalam.