SUBA SE SALAM SE JO NGON MOI MOI

Rabu, 28 November 2012

Kisah Al-Quran: Keagungan Nabi dan Ahli Bait Mengurungkan Pemuka Kristen Bermubahalah

Abu Haritsah, Uskup Najran sedang bermunajat di gereja. Seorang utusan mendatanginya dan berkata, "Rasulullah Saw telah mengirimkan sebuah surat untuk anda. Beliau juga telah mengirim surat kepada para penguasa dunia."
 
Abu Haritsah mengambil surat dan membukanya. Di dalam surat itu tertulis:
 
"Dengan menyebut nama Tuhan Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub.
 
Surat ini dari Muhammad, Nabi dan Utusan Allah kepada Uskup Najran.
 
Saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub.
 
Saya mengajak Anda berpindah dari menyembah hamba-hamba kepada menyembah Allah.
 
Saya mengajak anda untuk keluar dari wilayah (kepemimpinan) hamba-hamba menuju ke wilayah Allah."
 
Abu Haritsah termenung berpikir dan meminta penasihatnya dipanggil. Setelah penasihatnya datang, Abu Haritsah bertanya, "Kau cerdas dalam berpikir. Kau tahu bahwa Najran adalah satu-satunya daerah berpenduduk Kristen di Hijaz. Lantas bagaimana pendapatmu tentang surat ini?!
 
Setelah membaca surat itu, penasihat berkata kepadanya, "Informasiku tentang mazhab tidak cukup. Aku tidak bisa memberikan pendapat. Namun berkali-kali kita telah mendengar dari para pemimpin agama kita bahwa suatu hari kenabian dari keturunan Ishaq akan berpindah ke keturunan Ismail. Tidak mustahil Muhammad yang dari keturunan Ismail adalah nabi yang telah dijanjikan. Jalan keluar terbaik adalah kau pilih orang-orang paling pandai dari Najran dan kirim mereka ke Madinah untuk menemui Muhammad dari dekat dan meneliti bukti-bukti kenabiannya."
 
Abu Haritsah membentuk sebuah dewan, kemudian bergerak menuju Madinah bersama 60 orang cedikiawan Najran di bawah kepemimpinannya dan 2 orang lainnya.
 
Rombongan Najran setelah sampai di Madinah, mereka menuju masjid Nabi. Pakaian sutra, cincin emas dan salib yang mereka pakai menarik perhatian masyarakat. Mereka menemui Rasulullah, namun beliau menyambut mereka dengan dingin, tidak seperti yang mereka harapkan.
 
Salah seorang dari rombongan itu melihat seseorang berada di tengah-tengah kerumunan masyarakat. Dengan gembira ia berkata, "Aku kenal dia. Dia adalah Utsman bin Affan." Kemudian dengan segera ia menghampiri Utsman.
 
Utsman berkata, "Tahukah kamu mengapa Rasulullah tidak suka melihat kita berdua?"
Orang itu berkata, "Tidak. Tapi kau bisa bertanya kepada Ali bin Abi Thalib apa alasannya?"
 
Keduanya pergi mendekati Ali bin Abi Thalib. Mereka menanyakan tentang sikap Nabi dan dijawab oleh Ali bin Abi Thalib, "Ganti pakaian kalian dan lepaskanlah kemewahan itu. Maka dengan demikian kalian akan mendapatkan pernghormatan dari Rasulullah!"
 
Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sederhana, rombongan itu kembali menemui Rasulullah Saw. Nabi Saw menghormati mereka dan menerima sebagian hadiah yang mereka berikan kepada beliau dan berkata, "Saya mengajak kalian untuk menyembah Allah Yang Esa dan menyerah di hadapan perintah-perintah-Nya!"
 
Wakil dari orang-orang Najran itu berkata, "Bila maksud Anda dari Islam adalah iman kepada Tuhan Yang Esa, sebelum ini kami telah beriman."
 
Rasulullah Saw berkata, "Islam memiliki ciri-ciri. Tapi perilaku kalian tidak menunjukkan bahwa kalian telah memeluk Islam yang hakiki. Bagaimana mungkin kalian mengklaim menyembah Tuhan Yang Esa, tapi pada saat yang sama kalian mengakui bahwa tuhan punya anak. Kalian tidak menghindari makan daging babi."
 
Seorang pemuda dari rombongan berkata, "Kami menganggap Isa sebagai tuhan karena ia menghidupkan yang sudah mati, menyembuhkan orang yang sakit dan membuat burung dari tanah dan bisa terbang."
 
Rasulullah Saw berkata, "Tapi dia adalah hamba Allah dan makhluk-Nya. Dengan kekuatan-Nya Allah menetapkan ia di dalam rahim Maryam.
 
Satu lagi dari rombongan Najran berdiri dan dengan suara kasar berkata, "Maryam adalah ibu Isa. Ia melahirkan Isa tanpa menikah dengan siapapun. Oleh karena itu, Tuhan alam semesta adalah ayah Isa."
 
Rasulullah Saw berkata, "Bila tidak punya ayah menunjukkan bahwa ia adalah anak Allah, maka Nabi Adam as lebih layak untuk menduduki posisi itu. Karena ia tidak punya ayah dan juga ibu."
 
Para anggota rombongan Najran tidak lagi memiliki jawaban. Mereka berkata, "Satu-satunya jalan keluar adalah kita lakukan mubahalah pada waktu tertentu dan kita minta kepada Allah agar melenyapkan pembohong."
 
Seketika itu wajah Rasulullah Saw berubah dan sedang menerima wahyu dari Allah Swt. kepada beliau Allah berfirman, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
 
Kedua belah pihak sepakat bahwa keesokan harinya semuanya harus hadir di sebuah tempat di luar Madinah untuk melakukan mubahalah.
 
Di padang sahara yang luas, sebelum berhadap-hadapan dengan Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya, para pemuka Kristen Najran melakukan dialog dengan sesama mereka sendiri seraya berkata, "Bila Muhammad datang bersama para pasukannya dan memamerkan kekuatannya kepada kita, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang pribadi biasa dan tidak jujur dalam dakwahnya. Namun bila ia datang bermubahalah bersama anak-anaknya dan orang yang dicintainya, maka jelas ia telah menunjukkan kebenarannya. Karena ia siap meletakkan keluarganya yang paling terhormat pada kehancuran."
 
Ketika rombongan Kristen Najran sedang bercakap-cakap dengan sesama mereka sendiri, tiba-tiba terlihat wajah Rasulullah Saw yang penuh cahaya. Beliau datang dalam keadaan menggendong Husein as dan menggandeng Hasan as. Dan putrinya, Fathimah az-Zahra menyusul di belakangnya dan Ali bin Abi Thalib berada di belakang mereka. Dengan semangat dan keseriusan Rasulullah Saw maju mendekati mereka.
 
Uskup Najran berkata, "Aku melihat wajah-wajah yang bila mereka mengangkat tangan memohon kepada Allah untuk mencabut gunung yang paling besarpun, maka saat itu juga gunung akan tercabut dari tempatnya."
 
Salah satu dari mereka berkata, "Iya. Tidak benar bila kita bermubahalah dengan orang-orang yang wajahnya penuh cahaya dan keutamaan ini."
 
Ketika Rasulullah Saw sudah mendekat, Abu Haritsah maju dan berkata, "Kami siap membayar sejumlah uang setiap tahun sebagai jizyah (pajak)."
 
Rasulullah menerima dan berkata, "Dengan demikian pemerintahan Islam akan melindungi jiwa dan harta kalian."
 
Kemudian kedua belah pihak membuat perjanjian.
 
Kisah ini menunjukkan keagungan pribadi Ahlul Bait Rasulullah Saw.
 
Kisah ini berdasarkan ayat 61 surat Ali Imran. 

Sumber: (IRIB Indonesia)

Kisah Al-Quran: Nabi Uzair as Bukti Kekuasaan Allah!

Hari Kebangkitan merupakan salah satu pembahasan penting yang ada dalam al-Quran. Untuk membuktikannya, Allah menggambarkan saksi-saksi hidup. Di dalam al-Quran disebutkan beragam contoh dan kisah nyata tentang bagaimana dibangkitkannya umat manusia. Mengkaji dan menelaah kisah-kisah dan contoh ini menjadikan kita memahami betapa besarnya kebijkasanaan dan kehendak Allah Yang Esa. Peristiwa yang dialami Nabi Uzair adalah satu di antaranya.
 
Uzair menyiapkan sedikit bekal makanan dan minuman. Ia mengendarai kendaraannya dan berangkat menuju tempat yang dimaukannya. Ia ingin mengunjungi kebunnya yang subur. Begitu sampai di sana, ia tertarik oleh keindahan pepohonan dan kicauan burung bulbul.
 
Dia baru sadar ketika matahari sudah tergelincir. Ia bergegas memenuhi keranjangnya dengan buah-buahan lantas kembali pulang. Ia benar-benar tenggelam dalam keindahan alam sekitar dan rahasia penciptaan sehingga tidak sadar bahwa kendaraannya tersesat jalan.
 
Setelah beberapa saat ia menyadari sedang berada di puing-puing. Ia turun dari kendaraannya dan menengok ke kanan dan ke kiri seraya berkata kepada dirinya sendiri:
 
"Di sini dulu adalah sebuah kampung yang memiliki kehidupan. Tapi sekarang rumah-rumah hanya tinggal puing-puing. Sebaiknya aku beristirahat sebentar di samping dinding yang sudah runtuh ini untuk mendapatkan tenaga lagi lalu kembali berjalan."
 
Uzair bersandar ke dinding sambil berselonjor. Ia meletakkan tongkatnya disampingnya dan kendaraannya berdiri tepat di depannya.
 
Keheningan dan sepoi-sepoi angin membuat Uzair tenggelam berpikir tentang penciptaan manusia dan alam semesta. Kepada dirinya sendiri ia berkata, "Sekarang aku bersandar di rumah yang dinding-dindingnya sudah rusak. Di rumah inilah dahulu ada orang-orang yang hidup dan tinggal di sini. Satu sama lainnya menganggap sebagai teman atau lawan. Kini meski hanya tulang-tulangnya pun tidak tersisa sama sekali. Bagaimana mungkin penghuni puing-puing ini kembali berkumpul dan hadir sebagai manusia-manusia yang hidup?"
 
Selanjutnya Uzair pelan-pelan terlelap dalam tidurnya.
 
Seratus tahun telah berlalu. Anak-anak telah menjadi tua. Generasi telah berganti dengan generasi baru. Dengan kehendak Allah tulang-tulang Uzair yang terpisah kembali menyatu dan ruh kembali ditiupkan. Dengan badan sempurna dan bertenaga, Uzair bangun dan berdiri. Ia berpikir telah bangun dari tidur lelapnya. Ia merasa lapar dan bangun mencari air dan makanan. Tiba-tiba malaikat mendatanginya seraya berkata:
 
- Engkau pikir berapa lama engkau tidur?
 
- Uzair menjawab, "Sehari atau kurang dari itu aku tidur?"
 
-  Malaikat berkata, "Tapi engkau berada di sini selama seratus tahun. Sekarang lihatlah makanan dan minumanmu. Dengan kehendak Allah, makanan dan minumanmu tidak berubah sama sekali. Namun lihatlah kendaraanmu! Lihatlah bagaimana kematian memusnahkannya?!"
 
Dengan takjub Uzair melihat keledainya. Anggota badannya musnah terbukti kalau selama bertahun-tahun telah mati. Pada saat itu juga hewan itu bangun berdiri dengan tangan dan kakinya dan tanda-tanda kehidupan tampak padanya.
 
Uzair dengan sendirinya menghormat dan menunduk di hadapan Allah seraya berkata, "Sekarang aku tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala-galanya."
 
Kota telah berubah total. Model pakaian, wajah-wajah, bangunan-bangunan dan lorong-lorong telah berubah. Uzair dengan susah payah menemukan rumahnya. Ia mengetuk pintu. Seorang perempuan tua buta dan beruban penuh datang membuka pintu.
 
Uzair bertanya, "Apakah ini rumahnya Uzair?"
 
Perempuan tua meneteskan air mata saat mendengar nama Uzair. Dengan penuh kesedihan ia menghela nafas dan berkata, "Ini adalah rumahnya. Tapi dia sudah bertahun-tahun...
 
Uzair berkata, "Aku adalah Uzair. Allah telah mengambilku dari dunia selama seratus tahun dan mengembalikan aku kembali ke dunia."
 
Dengan rasa tidak percaya perempuan tua itu berkata, "Uzair adalah manusia yang sangat baik dan doanya senantiasa terkabulkan. Kalau memang kamu benar, berdoalah agar aku kembali menjadi muda sebagaimana masa-masa itu sehingga bisa melihatmu."
 
Uzair berdoa dan memohon kepada Allah agar mengembalikan perempuan tua itu menjadi muda lagi. Allah-pun mengabulkan doanya dan jadilah perempuan tua itu muda kembali.
 
Kejadian ini membuat orang-orang di sekitar Uzair meyakini tentang hari kebangkitan. Mereka meyakini bahwa Allah mampu atas segalanya. Mereka meyakini bahwa alam akhirat adalah tempat pembalasan bagi umat manusia dan mereka akan kembali dibangkitkan.
 
Di dalam surat Taubah: 30 dan Baqarah: 259 disebutkan tentang kisah Uzair. 

Sumber: (IRIB Indonesia)

Ketika Fatwa Sesat Penyebab Syahadah Imam Jawad as

Salah satu faktor yang menyebabkan syahadah Imam Jawad as adalah kemampuan ilmunya. Karena kelebihan yang dimilikinya membuat Mu'tashim, Khalifah waktu itu tampil lemah dan bodoh di hadapan beliau. Terlebih lagi banyak yang diam-diam mengakui kekkhalifahan hak Imam Jawad as, dan bukan milik Mu'tashim. Tidak hanya itu, keilmuan Imam Jawad as dengan sendirinya melemahkan ulama istana Bani Abbasiah. Kelebihan beliau tampak dalam diskusi-diskusi yang dihadiri para ulama yang diselenggarakan pihak istana.
 
Zarqan yang berteman dekat dengan Ibnu Abi Dawud mengatakan, "Suatu hari Ibnu Abi Dawud kembali dari majelis Mu'tashim dengan wajah kusut. Melihat kondisinya yang demikian, saya bertanya, ‘Apa yang menyebabkan engkau terlihat kusut?"
 
Ibnu Abi Dawud menjawab, "Hari ini saya berharap telah meninggal 20 tahun yang lalu."
 
"Mengapa,'" tanyaku.
 
"Ini semua karena apa yang dilakukan oleh Abu Jakfar (Imam Jawad as) di majelis Mu'tashim," jawabnya.
 
Saya bertanya, "Memangnya apa yang terjadi di sana."
 
Ibnu Abi Dawud menjelaskan:
 
"Ada seorang pencuri yang mengakui perbuatannya. Pencuri itu meminta kepada Khalifah Mu'tashim untuk menerapkan hukumannya. Untuk itu Khalifah memanggil semua ulama dan Muhammad bin Jakfar (Imam Jawad as) juga diundang. Khalifah kemudian bertanya kepada kami dari mana harus dipotong tangan pencuri itu?
 
Saya menjawab, "Dari pergelangan tangan."
 
Khalifah bertanya lagi, "Apa dalilmu?"
 
"Karena maksud dari tangan dalam ayat Tayammum "Famsahuu Bi Wujuuhikum Wa Aidiikum" hingga ke pergelangan tangan," ujarku.
 
Sebagian besar ulama setuju dengan pendapatku. Mereka mengatakan, "Tangan pencuri harus dipotong dari pergelangan tangannya."
 
Tapi kelompok yang lain mengatakan, "Tangannya harus dipotong dari siku."
 
Ketika Mu'tashim bertanya dalil dari pendapat mereka, dengan sigap mereka menjawab, "Maksud dari tangan dalam ayat Wudhu "Faghsiluu Wujuuhakum Wa Aidiikum Ilal Maraafiq" sampai pada siku."
 
Setelah itu Mu'tashim melihat ke arah Muhammad bin Ali as dan bertanya kepadanya, "Apa pendapatmu dalam masalah ini?"
 
Beliau menjawab, "Mereka telah menyampaikan pendapatnya. Tidak perlulah saya berpendapat."
 
Mu'tashim bersikeras dan bersumpah agar beliau menyatakan pendapatnya.
 
Muhammad bin Ali as berkata, "Karena engkau telah bersumpah, maka saya akan menyampaikan pendapatku. Saya katakan bahwa pendapat mereka semua salah. Karena hanya jari-jari pencuri saja yang harus dipotong."
 
Mu'tashim bertanya, "Apa argumentasimu?"
 
Ia berkata, "Karena Rasulullah Saw bersabda, ‘Sujud harus dilakukan dengan tujuh anggota badan. Oleh karenanya, bila tangan pencuri dari pergelangan atau siku harus dipotong, maka ia tidak punya tangan lagi untuk menunaikan shalat dan bersujud. Allah Swt juga berfirman, ‘Al-Masajid Lillah Falaa Tad'u Ma'allahi Ahadan' (Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. QS. 72: 18)"
 
Ibnu Abi Dawud berkata, "Mu'tashim menerima jawaban yang disampaikan Muhammad bin Ali dan memerintahkan agar jari-jari pencuri dipotong. Menyaksikan itu saya berharap tiba-tiba mati di sana."
 
Tiga hari berlalu. Ibnu Abi Dawud menemui Mu'tashim dan berkata, "Sudah merupakan kewajiban bagi saya untuk senantiasa mengharapkan kebaikan Amirul Mukminin. Saya ingin berbicara dengan Baginda demi kebaikan, sekalipun saya tahu dengan ucapan ini saya akan dilemparkan ke api neraka."
 
Mu'tashim bertanya, "Pembicaraan tentang masalah apa?"
 
Ibnu Abi Dawud berkata, "Bagaimana mungkin terkait masalah agama yang baru-baru saja terjadi, Amirul Mukminin menolak ucapan seluruh ulama dan menerima pendapat dan hukum seorang pria yang mengaku ia lebih layak menjadi Khalifah dari Amirul Mukminin dan setengah dari masyarakat meyakini Imamahnya?"
 
Mendengar ucapanku, air muka Mu'tashim langsung berubah. Ia mengerti peringatan yang saya sampaikan kepadanya dan berkata, "Semoga Allah memberikan pahala kebaikan atas niat baikmu ini."
 
Setelah pertemuan itu, Mu'tashim memutuskan untuk membunuh Muhammad bin Ali. 

Sumber: (IRIB Indonesia)

Rahasia Pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as

Merunut kembali kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as akan membawa kita pada pernikahan beliau penuh dengan cinta, kesempurnaan dan cahaya. Berikut ini kita melihat contohnya:
 
1. Suami dan isteri ridha dengan pernikahan
 
Bila salah satu dari suami atau isteri tidak puas dengan pernikahannya, maka faktor ini akan mempengaruhi kehidupan bersama. Begitu juga bila tidak ada kebahagiaan dan kerelaan ilahi, kehidupan rumah tangga tidak akan kokoh. Sayidah Fathimah as menyebut kerelaan hidup bersama Imam Ali as seperti demikian, "Aku bahagia dengan apa yang diridhai Allah dan Rasulullah Saw." (Dashti, 1375, hal 29)
 
Mencermati ungkapan penuh makna Sayidah Fathimah as ini membawa kita pada satu hakikat bahwa keridhaan sebagai pengantar sebuah pernikahan akan memperkokoh rumah tangga bila disertai dengan keridhaan Allah.
 
2. Keluarga setuju dengan pernikahan
 
Satu lagi dari faktor yang memperkokoh rumah tangga adalah sikap keluarga dari kedua pihak yang setuju dengan pernikahan ini. Selama persetujuan ini semakin dalam baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, maka langgengnya sebuah pernikahan akan semakin kuat.
 
Terkadang ada keluarga yang secara lahiriah tidak melarang pernikahan anaknya, tapi dampak ketidakridhaan mereka pasti akan muncul perlahan-lahan. Kondisi yang seperti ini akan membuat rentan hubungan pasangan suami dan isteri. Masalah ini akan mempengaruhi semangat kehidupan bersama antara suami dan isteri, baik itu disadari atau tidak.
 
Pernikahan Sayidah Fathimah as dan Imam Ali as diketahui oleh semua, baik kerabat sampai musuh dan semua mengakui bahwa Imam Ali as adalah satu-satunya pasangan paling tepat bagi Sayidah Fathimah as.
 
3. Upacara pernikahan tidak bercampur kebatilan
 
Satu faktor lain yang dapat memperkokoh sebuah rumah tangga adalah tidak mencampurkan hal-hal yang batil terkait upacara pernikahan seperti penentuan mahar, pesta dan lain lain-lain. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terkadang kebencian dan problema keluarga telah dipupuk sejak awal lewat hal-hal yang demikian dan membuat pasangan suami dan isteri tidak memperhatikan nilai-nilai agama.
 
Imam Ali as memberikan seluruh yang dimilikinya kepada Sayidah Fathimah as sebagai maharnya dan semua itu hanya sebuah baju besi untuk berperang yang dijualnya untuk dibelikan perabot rumah tangga yang wajib. Sayidah Fathimah sendiri ketika menikah hanya memiliki 17 barang; kain panjang, kerudung, pakaian, tikar, tirai, kain, selimut, bantal, gelas dari tembikar, kendi, mangkuk dari tembikar, tempat air, penggiling gandum, tempat air dari kulit, panci, handuk, kulit domba dan lain-lain.
 
Dalam acara perkawinan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as orang-orang kaya dan miskin diundang semua. Pada waktu itu ada yang mengejek Imam Ali as dengan mengatakan bahwa engkau pribadi Arab yang terkenal dan pemberani. Oleh karenanya engkau dapat menikah dengan gadis paling kaya agar ia dapat memenuhi rumahmu dengan perabot yang banyak.
 
Mendengar itu Imam Ali as berkata, "Demikianlah kami termasuk orang-orang ridha dengan ketetapan Allah. Kami tidak menginginkan selain keridhaan Allah. Kebanggaan kami adalah berbuat baik dan bukan dengan harta dan kekayaan." (Bahrani, tanpa tahun, 11/363)
 
Ternyata Sayidah Fathimah as juga tidak luput dari ejekan. Mereka mengatakan kepadanya bahwa engkau telah menjadi suami orang yang miskin dan tidak punya apa-apa.
 
Sayidah Fathimah as menjawab, "Saya ridha dengan Ali as dan keridhaan saya terhadapnya di atas derajat keridhaan." (Majlisi, 1404, 43/97)
 
4. Upacara pernikahan harus bernuansa ilahi
 
Upacara pernikahan Sayidah Fathimah as dalam seluruh tahapannya tidak terpisahkan dari nilai-nilai ilahi. Acara walimah yang dilakukan penuh berkah. Karena dengan acara itu mereka dapat memberi makan orang-orang miskin Madinah.
 
Sayidah Fathimah as diantar ke rumah Imam Ali as dengan ucapan takbir dan di pertengahan jalan, beliau memberikan baju pengantinya kepada orang miskin. (Mazahiri, 1372, hal 66-67)
 
5. Suami-isteri dan pikiran positif
 
Prinsip lain yang dapat memperkokoh institusi rumah tangga adalah antara suami dan isteri harus saling berpikir positif. Semakin tumbuh pemikiran positif di antara keduanya, maka sesuai dengan itu pula kebahagiaan akan dirasakan oleh suami dan isteri. Sebaliknya, berpikiran negatif antara suami dan isteri akan mengganggu rasa cinta yang ada di antara suami dan isteri.
 
Nabi Muhammad Saw pada awalnya menanyakan pandangan Imam Ali as terhadap Fathimah as dan sebaliknya. Ketika itu beliau bertanya kepada Imam Ali as, "Bagaimana engkau melihat isterimu."
 
Imam Ali as menjawab, "Betapa ia adalah teman yang baik di jalan ketaatan kepada Allah."
 
Ketika beliau bertanya kepada Fathimah as, "Bagaimana engkau melihat suamimu?"
 
Sayidah Fathimah as menjawab, "Ali as adalah suami terbaik."
 
Adanya dua cara pandang seperti ini dalam sebuah rumah tangga adalah satu keharusan. Karena ini bukan saya sumber kebahagiaan, tapi juga sebagai penebus kekurangan dan masalah yang muncul selama ini. Pikiran positif dapat menutupi kekurangan dari setiap suami atau isteri. Bila cara pandang antara keduanya bernuansa transenden, maka kehidupan mereka akan mencapai puncak kesempurnaan. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Kado Asyura -Tinjauan terhadap Pilihan Waktu

Oleh: Musa Kazhim
 
Salah satu aspek penting dalam strategi Imam Husein adalah waktu gerakan yang beliau pilih untuk pergi dari Madinah menuju kesyahidannya di Karbala. Di sini saya hanya akan memberikan gambaran umum tentang rahasia pilihan waktu itu, agar kita benar-benar menyadari bahwa Imam Husein memang memilih tiap langkahnya dengan kehendak bebas, cerdas dan jitu. Tiap langkah beliau berperan penting bagi kesuksesan misi beliau mengelektrifisir semangat perlawanan umat terhadap kezaliman.
 
Pertama, sejarah merekam bahwa Imam Husein pergi meninggalkan Madinah menuju Mekkah pada hari ketiga bulan Sya'ban tahun 60 Hijriah. Mulai hari itu sampai tanggal 8 Dzul Hijjah tahun 60 Hijriah beliau menetap di Mekkah. Di kota suci ini, Imam Husein bertemu dengan ribuan kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia. Beliau juga memberikan berbagai wejangan, sekaligus menjelaskan falsafah gerakan perlawanannya. Jelas bahwa keberadaan beliau di Mekkah pada bulan-bulan suci itu merupakan bagian dari rencana matang yang telah beliau persiapkan sejak semula.
 
Seperti sudah kita ketahui bersama, Sya'ban dan Ramadhan adalah dua bulan yang banyak mengandung nilai kesucian dalam Islam. Pilihan beliau untuk berangkat dari Madinah pada awal Sya'ban itu sama sekali tidak boleh dipandang sebagai kebetulan belaka. Pilihan itu jelas sekali untuk mendukung dan memperjelas posisi kesucian gerakan beliau.
 
Rajab, Sya'ban dan Ramadhan adalah tiga di antara 12 bulan Islam yang dianggap sebagai bulan-bulan ibadah. Tapi, di antara ketiganya, bulan Ramadhan jelaslah yang paling bernilai. Di bulan inilah Allah memerintahkan manusia untuk berpuasa; berpuasa dari kelalaian, kebodohan, kesombongan, pencarian dunia. Dalam banyak hadis, Nabi menyatakan bahwa ibadah yang terbaik adalah bertafakur dan mengekang diri dari segenap larangan-Nya, agar kemudian kita dapat berbuka dengan pencerahan dan kesadaran baru.
 
Sudah barang tentu tidak ada waktu yang lebih tepat untuk mengingatkan kaum Muslim akan kerusakan yang ditimpakan oleh kekuasaan Yazid atas Islam selain bulan Ramadhan. Selain akan mendukung pesan-pesan suci beliau, di bulan ini kebanyakan kaum Muslim berada pada tingkat kesucian yang lebih dari biasanya. Di bulan suci ini, Imam Husein ingin mengingatkan umat akan kewajiban tertinggi Islam yang merupakan konsekuensi langsung dari tauhid, yaitu menegakkan keadilan dan melawan penindasan.
 
Kedua, Imam Husein juga memilih pekan pertama bulan Dzul Hijjah, tepatnya tanggal 8, untuk memulai perjalanannya menuju Kufah. Kita tahu bahwa ibadah haji mempunyai dimensi sosial, politik dan ekonomi yang sangat kental. Pada momen ini, Imam Husein mulai mengumandangkan manifesto gerakannya. Lebih lagi, kita tahu bahwa dalam ibadah haji ini Allah memerintahkan kita untuk menyatakan bara'ah (lepas tangan) dari kaum Musyrik dan segala kejahatan. Nah, memilih bulan ini untuk menyerukan perintah bara'ah sangatlah strategis dan tepat sasaran.
 
Manakala banyak Muslim berihram untuk melaksanakan ibadah haji, cucu Nabi ini justru meninggalkan Mekkah. Beliau hanya melakukan umrah dan tidak melanjutkan haji. Setelah bertawaf mengelilingi Ka'bah dan melakukan sai antara Shafa dan Marwa, beliau melepas ihram. Kejutan seperti ini beliau pakai untuk menambah bobot dalam gerakannya. Beliau berharap masyarakat Muslim bertanya-tanya dan mencari alasan di balik pilihan ini.
 
Di hadapan para jamaah haji yang datang menemuinya waktu itu, Imam Husein mengatakan bahwa tidak ada yang dapat beliau lakukan kecuali beranjak menyambut kesyahidan. Di hari terakhir keberadaannya di Mekkah, Imam Husein berkata: "Aku bisa melihat serigala-serigala padang pasir Irak menyerangku di antara Nawawis dan Karbala dan merobek-robek tubuhku. Mereka melakukannya demi memenuhi kantong-kantong harta mereka. Urusan mereka adalah memuaskan kerakusan, sedangkan urusanku adalah melawan kerusakan dalam masyarakat dan agama ini. Allah telah memilih kesyahidanku sebagai penyembuh dan jalan perbaikan keadaan… Hanya orang yang siap mengorbankan nyawanya di jalan Allah yang akan menemaniku."
 
Sebagian pengamat menyatakan bahwa beliau tidak ingin para kolaborator Yazid merusak kesucian Mekkah dan membunuhnya di sana. Beliau khawatir tindakan itu akan menjadi preseden buruk bagi Islam di kemudian hari. Tapi, agaknya, upaya beliau meninggalkan ihram dan berangkat menuju Kufah pada tanggal 8 itu juga untuk menunjukkan sikap yang lebih fundamental: bahwa apa yang beliau lakukan lebih penting ketimbang semua ibadah ritual apapun. Beliau sedang melakukan penyelamatan Islam dari tangan-tangah para durja. Dan ini memang tampak jelas bagi siapa saja yang pada waktu itu berkumpul mendengarkan ceramah-ceramah Imam di Mekkah.
 
Saat Muhammad bin Hanafiyah memberitahukan bahwa orang-orang Mekkah dan jamaah haji bertanya-tanya mengapa dia pergi sehari sebelum hari raya Haji, Imam meninggalkan surat kepada saudaranya yang menerangkan maksudnya dengan jelas. Surat itu antara lain berisi: "Aku tidak keluar untuk melakukan huru-hara atau penindasan. Aku ingin membawa umat ini kembali ke jalan amar makruf nahi munkar. Aku ingin mengajak mereka ke jalan kakekku Rasulullah dan ayahku Ali bin Abi Thalib."
 
Ketiga, Imam Husein tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharam. Dan Muharam adalah bulan hijrah Nabi yang kemudian dijadikan tahun baru Islam. Imam Husein memilih tiba di sana pada awal Muharam untuk tujuan yang juga sangat penting. Salah satu tujuannya ialah mengaitkan hijrahnya dengan hijrah Nabi. Imam Husein ingin mengingatkan kita pada tujuan hijrah Nabi ke Madinah yang tak lain adalah membangun masyarakat Islam yang berkeadilan. Nabi tidak berhijrah untuk kekuasaan atau sejenisnya, demikian pula Imam Husein.
 
Tahun baru Islam ini juga beliau jadikan momentum untuk menyegarkan kembali kesadaran umat akan Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Setidaknya ada dua esensi Islam yang didengung-dengungkan oleh Imam Husein sepanjang perjalanannya, (a) tauhid, yakni tiada tuhan dan penguasa selain Allah dan bahwa semua kekuasaan yang tidak tegak di atas perintah Allah adalah kekuasaan yang zalim; dan (b) tidak ada keunggulan satu manusia atas manusia lain kecuali dengan ketakwaan. Dan seperti kita tahu, ketakwaan dalam Islam merupakan istilah generik untuk semua kebajikan.
 
Kita tahu bahwa di zaman itu umat Islam diterpa oleh fitnah Jahiliah yang mempermainkan sentimen kesukuan, fanatisme kelompok dan semangat regional. Banyak kalangan masyarakat Arab yang kembali menjalin afinitas berdasarkan hubungan-hubungan seperti ini, sehingga Imam Husein mendesak semua orang untuk tidak berpikir dengan landasan konyol seperti itu.
 
Sejak Nabi wafat sampai kebangkitan Imam Husein, masyarakat Islam sering terpecah berdasarkan suku (tribalisme), mujahir versus non muhajir (partisanisme), Kufah versus Syam (regionalisme), dan sebagainya. Seperti juga kakeknya, Imam Husein hendak menyatakan bahwa kelebihan atau kekurangan orang adalah konsekuensi pilihan bebasnya sendiri, bukan berpijak pada hal-ihwal yang tidak bisa dipilih seperti garis keturunan, tempat kelahiran dan semacamnya. Selain itu, baik Nabi maupun Imam Husein sebenarnya sama-sama bergerak untuk menyambut permintaan warga setempat. Mereka sama-sama bergerak dengan niat melayani, bukan memerintah atau menguasai.
 
Pada kali pertama perjumpaannya dengan pasukan Ibn Ziyad di Karbala, Imam Husein berseru sebagai berikut, "Ingatlah, bila kalian melihat penguasa melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya, bergelimang dosa dan menindas rakyat yang dipimpinnya, tapi kalian tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan penguasa macam itu, maka di hadapan Allah kalian dan dia sama-sama berdosa." Lalu beliau menambahkan: "Orangtuaku tidak membesarkanku untuk tunduk pada penindas yang keji. Aku adalah Imam kalian dan sudah menjadi kewajibanku untuk memberitahu kalian bahwa kalian telah menyerahkan kemerdekaan pikiran kalian pada cara-cara jahat Yazid. Jika kalian tidak peduli pada Islam, dan tidak takut hari perhitungan, maka setidaknya pedulilah pada karunia Allah yang berharga bagi kalian, yakni kemerdekaan jiwa kalian!"
 
Di samping kerupaan tujuan, hijrah Nabi dan hijrah Imam Husein juga memiliki keserupaan dalam pola dan metode. Misalnya, keduanya sama-sama mengutus delegasi untuk memastikan kesiapan warga setempat, melakukan inspeksi lapangan dan menemui pimpinan suku-suku setempat. Kesimpulannya, yang jelas, siapa saja yang membaca sejarah hijrah Nabi dan gerakan Asyura akan menemukan sekian banyak keserupaan, baik dalam tujuan maupun pola gerakan. Pemimpin Hizbullah, Sayyid Hasan Nahsrullah, dalam seri ceramah Asyura 1429 H. telah mengupas berbagai titik persamaan antara kedua hijrah tersebut.
 
Aspek penting lain dalam gerakan Imam Husein adalah tempat-tempat yang beliau lalui menuju Karbala. Belum ada riset luas mengenai signifikansi khas masing-masing tempat tersebut, tapi jelas bahwa posisi geografis Karbala memiliki arti penting bagi strategi dan keberhasilan gerakan Imam Husein.
 
Marilah kita mulai dengan kota yang paling penting, Mekkah. Sebagai Muslim, kita percaya bahwa inilah tempat paling suci di muka bumi. Inilah tempat pertama yang Allah bangun sebagai rumah ibadah. Di sini Nabi Ibrahim melakukan ibadahnya yang mencerminkan tauhid dan melakukan pengorbanan terbesarnya, berupa penyembelihan Ismail. Inilah kiblat, tempat ibadah haji dan berkumpulnya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan dari sini pula Nabi mengawali perjuangannya menyebarkan ajaran tauhid.
 
Keberangkatan Imam Husein dari Mekkah semakin mempertegas keserupaan kedua hijrah ini. Imam ingin menjaga keserupaan ini dalam semua dimensinya, termasuk secara lahiriah, sedemikian hingga ingatan tentang hijrah akan membawa orang pada ingatan tentang Asyura. Pilihan Mekkah sebagai titik tolak ialah untuk meletakkan hijrah Nabi dan Asyura dalam satu lingkaran misi yang utuh. Barangkali dalam koteks inilah seharusnya kita memahami hadis Nabi yang berbunyi, "Husein dariku dan aku dari Husein. Allah mencintai siapa saja yang mencintai Husein."
 
Setelah beranjak dari Mekkah, ada 13 persinggahan lain yang Imam Husein lalui sebelum tiba di Karbala. Saya akan mengutip beberapa di antaranya dari Route of Imam Hussain (A.S) from Makkah to Karbala karya Syed MR Shabbar. Persinggahan pertama Imam Husein adalah Saffah. Di sini Imam bertemu dengan Farazdaq, penyair Arab yang ditanyai oleh Imam tentang keadaan penduduk Kufah. Mendengar kata-kata Farazdaq yang sudah kita kutip di atas, Imam menjawab, "Allah telah mengambil keputusan. Aku serahkan nasibku kepada-Nya yang telah memberiku alasan yang benar untuk bergerak."
 
Selanjutnya Imam singgah di Dzat Al-Irq. Di tempat ini beliau bertemu dengan Abdullah bin Jafar yang menyerahkan dua anak lelakinya, Auwn dan Muhammad, kepada ibunya, Sayidah Zainab, untuk membantu Imam. Abdullah membujuk Imam untuk kembali ke Madinah tetapi Imam menjawab, "Nasibku di tangan Allah." Di Zurud, kota atau desa berikutnya, Imam bertemu dengan Zuhair bin Qain. Zuhair bukan termasuk pengikut Ahlulbait. Tapi, ketika Imam memberitahukan tujuan perjalanannya, Zuhair menitipkan semua hartanya kepada istrinya dan menyuruhnya pulang sendirian, karen dia berniat menjadi syahid bersama Husein.
 
Sesampainya di Zabala, tidak jauh dari Zurud, Imam mendengar berita syahadah Muslim bin Aqil, utusannya untuk menengok warga Kufah. Imam berkata, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. ‘Indallahi nahtasib anfusana." (Kita berasal dari Allah dan pasti kembali kepada-Nya. Kepada-Nyalah kita pasrahkan diri kita). Seorang dari suku Asadi mencoba membujuk Imam untuk balik, tapi beliau tak bergeming. Di sini Imam memberitahukan sahabatnya itu tentang kematian Muslim bin Aqil dan Hani dan bahwa orang Kufah telah berkhianat. Imam berkata,"Siapa yang ingin pergi, silahkan." Kumpulan orang dari berbagai suku yang ikut dalam perjalanan dengan harapan mendapatkan pampasan perang menyadari harapan mereka menemui jalan buntu. Mereka pun akhirnya berpencar pulang. Hanya 50 orang yang tetap tinggal bersama Imam Husein.
 
Lalu Imam bermalam di Sorat dan pagi harinya beliau memerintahkan para sahabatnya untuk membawa air sebanyak mungkin. Tak jauh dari Sorat, tepatnya di desa Zuhasm, Imam bertemu dengan al-Hurr yang membawa pasukan 1000 orang. Mereka kehausan lalu Imam memerintahkan para sahabat untuk memberi air pada mereka. Imam sendiri menolong beberapa tentara yang kehausaan untuk minum. Bahkan binatang mereka pun diberi minum. Selepas shalat Zuhur berjamaah, Imam mengabarkan pada al-Hurr tentang surat-surat yang dia terima dari Kufah.
 
Beliau berseru,"Wahai warga Kufah, kalian kirim delegasi dan ratusan surat untuk menyatakan bahwa kalian tidak punya pemimpin dan memintaku datang untuk memimpin kalian di jalan Allah. Kalian menulis bahwa kami Ahlulbait lebih pantas mengendalikan urusan kalian daripada para pelaku kezaliman dan kebatilan. Tapi, jika kalian mengubah putusan, mengabaikan hak kami dan melupakan janji kalian, maka aku akan kembali."
 
Keesokan harinya, Imam Husein sampai di Baiza dan memberikan khutbahnya yang terkenal. "Wahai manusia, Nabi telah berkata bahwa jika seseorang menjumpai pemimpin tiran, menyeleweng dari jalan Allah dan Nabi dan menindas orang, tapi kalian tidak melakukan apa-apa lewat perkataan atau tindakan untuk mengubahnya, maka keadilan Allah yang akan menghukumnya. Tidakkah kalian melihat nistanya keadaan kalian… Tidakkah kalian perhatikan bahwa kebenaran tidak diikuti dan kebatilan berlaku tanpa batas. Aku akan mencari syahada, karena hidup di tengah kesesatan tidaklah berarti apa-apa kecuali kesedihan dan penderitaan."
 
Di Uzaibul Hajanat, Imam bertemu dengan Tsimmah bin Adi. Setelah mengetahui Kufah telah menelantarkan utusannya, Muslim bin Aqil, Imam tidak lantas kecil hati. Saat Trimmah menawarkan bantuan 20.000 tentara terlatih dari sukunya untuk mengiringi Imam ke Kufah atau berlindung di pegunungan, Imam menjawab, "Semoga Allah memberkahimu dan orang-orangmu. Aku tidak bisa menarik kata-kataku." Dari jawaban ini jelas bahwa Imam mengerti sepenuhnya situasi yang bakal dia hadapi. Dia juga telah mempersiapkan strategi jitu untuk mengadakan revolusi demi penyadaran kaum Muslim. Dia tidak mencoba memobilisasi pasukan militer yang dapat dengan mudah dia lakukan sejak di Hijaz, sebagaimana dia juga tidak mengambil kesempatan mendapatkan kekuatan militer baru.
 
Pada hari pertama Muharam, Imam dan rombongan tiba di wilayah Nainawa. Rombongan melanjutkan prosesi melewati Ghadiriyah menuju lokasi yang disebut dengan Karbala. Sebelum berhenti, Imam menanyakan nama lokasi itu. Seseorang memberitahunya bahwa tempat itu bernama Karbala. Imam lalu menjawab, "Memang, inilah tempat karb wa bala (kegelisahan dan prahara). Mari kita berhenti di sini karena kita telah tiba di tujuan. Ini adalah tempat kesyahidan. Inilah Karbala."
 
Karbala adalah sebuah tempat yang unik dalam sejarah manusia. Nama-nama lain wilayah ini adalah Nainawa, al-Ghadiriyah dan Tepian Furat (syathi'ul-furât). Masing-masing nama itu sepertinya merujuk pada salah satu karakteristik wilayah tersebut. Sebagai pembukaan, saya akan mengutip pasase dari tulisan Abdullah Yusuf Ali, penerjemah al-Qur'an yang sangat terkenal itu.
 
"Dalam rangka memberikan gambaran geografis seputar tempat tragedi besar ini terjadi, saya merasa beruntung punya ingatan pribadi tentangnya. Semua ingatan itu mempertegas gambaran di benak saya, dan mungkin bisa juga membantu Anda.
 
Ketika saya mengunjungi tempat-tempat itu pada tahun 1928, saya ingat datang dari Baghdad melalui seluruh titik yang dilewati oleh sungai Eufrat. Saat saya menyeberang sungai dengan perahu di Al-Musaiyib pada pagi cerah bulan April, benak saya meloncat ke abad-abad silam. Di sisi kiri aliran sungai itu ada tanah tua dari sejarah Babilonia, stasiun kereta Hilla dan reruntuhan kota Babilon. Di situ Anda menyaksikan salah satu peradaban kuno terbesar. Lantaran mungkin bercampur debu, baru beberapa tahun terakhir ini kita menyadari kebesaran dan keagungan tempat itu.
 
Lalu di situ Anda menemukan arus besar sungai Eufrat, yang dinamai dengan Furat, sebuah sungai yang tiada bandingnya. Sumber air yang berhulu dari berbagai tempat di pegunungan Armenia Timur, mengalir meliuk-liuk melewati daerah perbukitan, dan akhirnya menyusuri gurun pasir, seperti yang kita ketahui sekarang. Di tiap cabang atau anak sungainya, ia mengubah gurun menjadi daerah perkebunan buah-buahan. Dalam ungkapan indahnya, Eufrat telah membuat gurun pasir mekar seperti mawar. Sungai ini menyusur sampai ujung Timur gurun Suriah lalu mengalir ke rawa-rawa.
 
Di bagian yang tidak jauh dari Karbala sendiri terdapat danau-danau yang menampung air dan menjadi sumber air untuk keperluan hidup. Ke bawah lagi sungai ini bersatu dengan sungai lainnya, yaitu Tigris, dan gabungan aliran sungai ini dikenal sebagai Shatt al-Arab yang mengalir sampai ke Teluk Persia."
 
Tapi gambaran geografis Abdullah Yusuf Ali itu belum menjelaskan rahasia tempat ini, dan mengapa sebenarnya Imam memilih Karbala sebagai tanah kesyahidannya? Ada banyak teori yang dikemukakan untuk menjawab soal ini. Secara umum, ada dua teori saling berhubungan yang mencoba menyingkap rahasia tempat itu. Pertama, tempat ini dipilih berdasarkan isyarat Ilahi yang diterima oleh Nabi tentang kesyahidan Imam Husein. Karena itu, saat mendengar nama Karbala, Imam yang pernah mendengar isyarat Ilahi itu dari Nabi langsung meminta para sahabatnya untuk mendirikan tenda dan menetap di situ. Menurut teori ini, ada misteri Ilahi yang agung dalam pemilihan tempat tersebut.
 
Kedua, sejalan dengan teori pertama, Imam memilih tempat ini karena ia berada di wilayah paling tua dalam sejarah manusia, yakni Mesopotamia. Seperti sudah kita tahu, di Mesopotami itulah manusia mulai pertama kali mencatat sejarahnya sekitar 3500 tahun sebelum Masehi. Sejak ribuan tahun itu pula, manusia telah membangun ratusan peradaban di sungai Eufrat dan Tigris. Para ahli sejarah menyebut Mesopotamia (secara harfiah berarti, ‘di antara dua sungai') sebagai cradle of civilization (buaian peradaban). Jadi, Karbala dipilih dengan kesadaran penuh Imam akan sebuah konteks trans-historis dari misi yang diembannya. Imam sadar betul bahwa Karbala dapat menjadi lambang keabadian misinya. Semua manusia tertindas di muka bumi ini dapat mengaitkan dirinya dengan tanah persaksian itu. Dan karena itu, setelah peristiwa Asyura, di mana-mana kita mendengar slogan, "Kullu yaumin ‘Asyura wa kullu ardhin Karbala." (Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala).
 
Edward G. Brown, seorang profesor di University of Cambridge pernah menulis: "…ingatan akan padang Karbala yang bersimbah darah, tempat cucu Rasul gugur, tak berdaya, disiksa oleh dahaga, dan dikerubungi oleh para pembunuh keluarganya, sejak waktu itu hingga sekarang ini, tetap memadai untuk menimbulkan, sekalipun di hati orang yang paling suam dan tak peduli, sebuah emosi yang terdalam, kesedihan yang meluap-luap, dan kebangkitan semangat yang di hadapannya semua rasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi demikian remeh." 

Sumber: (IRIB Indonesia)

Imam Al-Baqir, Pemandu Umat

Sejarah Islam selalu diliputi oleh tokoh-tokoh yang menjadi tauladan dari masa ke masa. Rasulullah Saw adalah figur puncak yang kemudian dilanjutkan oleh Ahlul Baitnya. Ahlul Bait Rasulullah Saw yang juga manusia-manusia pilihan di muka bumi ini berfungsi sebagai pelita jalan bagi pencari kebenaran.
 
Pada tanggal 7 Dzulhijjah tahun 114 Hijrah, Imam Muhammad Bagir putra dari cicit Rasulullah saw, Imam Ali Zainal Abidin gugur syahid. Ketika kabar syahid al-Baqir menyebar ke sudut-sudut kota Madinah, kalbu para pecinta Ahlul Bait pun diliputi duka yang mendalam. Mereka tak akan lagi bisa melihat wajah suci penuh kasih cucu Rasulullah Saw itu. Mereka juga tidak akan bisa lagi mendengar lantunan indah bacaan al-Quran Imam Baqir as di balik dinding Masjid Nabawi.
 
Keadaan ini begitu menyesakkan hati sahabat dekat dan keluarga Imam as. Namun tak ada yang lebih merasa duka ketimbang Jabir bin Yazid Ju'fi. Bagi Jabir, sungguh berat ditinggalkan Imam Baqir as. Jabir selalu mengingat pesan pertama yang langsung didengar dari Imam as. Sebuah pesan yang membuatnya semakin teguh untuk mencari ilmu dan makrifah. Imam Baqir berkata, "Carilah ilmu, karena mencari ilmu adalah perkara yang baik. Ilmu adalah pemandumu dalam kegelapan, penolongmu dalam kesulitan, dan sahabat yang tak ternilai bagi manusia."
 
Imam Baqir as hidup di masa yang juga dikenal sebagai era penerjemahan pemikiran filsafat asing. Di masa itu, pelbagai kajian dan perdebatan ilmiah juga berkembang pesat. Selain itu, beragam aliran pemikiran sesat kian marak di masa itu. Di tengah suasana seperti itu, Imam Baqir as bersama putranya Imam Jakfar Shadiq as mengemuka bak penerang yang menyibak tirai-tirai kebodohan dan kegelapan.
 
Pada masa itu, Imam Baqir as menerapkan strategi revolusi kultural melalui penyebaran dan pengembangan Islam. Dengan seluruh daya upayanya, Imam Baqir berusaha menyelamatkan umat dari kesesatan dan kegelapan dengan menyusun dan menghimpun kembali ajaran Islam yang diwariskan Rasulullah Saw.
 
Imam Baqir membangun pondasi madrasah keilmuan dan budaya. Kelak, pondasi itu terus dilanjutkan pembangunannya oleh putra beliau, Imam Jakfar Shadiq as. Perjuangan ilmiah dan reformasi kebudayaan yang dijalankan Imam Baqir as di masa-masa akhir abad pertama hijriah, sejatinya merupakan pengantar untuk mengaplikasikan pemikiran dan nilai-nilai Islam serta meningkatkan kecerdasan umat. Untuk itu, Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin as dikenal dengan julukan Bagir Al Ulum, sang penyibak ilmu pengetahuan.
 
Pada masa dinasti Bani Umayah dan Bani Abbas, Imam Muhammad Baqir as senantiasa menunjukkan penentangannya terhadap para penguasa melalui jalur budaya. Imam Bagir juga mengajarkan masyarakat mengenai kriteria pemimpin saleh menurut pandangan Islam. Untuk itu, para penguasa dinasti Abbasiah, khususnya Hisyam bin Abdul Malik, menerapkan kebijakan yang sangat ketat terhadap Imam Baqir as.
 
Masa keimamahan Imam Baqir as berlangsung selama 19 tahun yang dimulai sejak tahun 95 Hq. Pada masa itu merupakan masa transisi dari Dinasti Umayah ke Dinasti Abbasiah.
 
Mengomentari peran pemimpin di tengah masyarakat, Imam Baqir as berkata, "Allah Swt berfirman; Setiap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Islam dan mempunyai pemimpin yang lalim dan kafir, bakal mendapat kesengsaraan, walaupun dalam perbuatan individu, mereka terbilang bertakwa. Sebaliknya, setiap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Islam dan mempunyai pemimpin yang adil, akan memperoleh ampunan dosa dan rahmat ilahi, meskipun mereka memiliki kesalahan dalam tindakan personalnya."
 
Menurut Imam Baqir as, seorang pemimpin yang saleh harus memenuhi beberapa kriteria dasar. Beliau berkata, "Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang layak menjadi pemimpin umat kecuali ia memiliki tiga karakter. Pertama, pemimpin harus takut kepada Allah Swt dan taat pada perintah-Nya. Kedua, pemimpin harus menjadi penyabar yang bisa menahan amarahnya. Dan ketiga, pemimpin harus bersikap laksana bapak yang mengasihi masyarakat dan berbuat baik kepada mereka."
 
Ada baiknya pada acara khusus kesyahidan Imam Muhammad Baqir as, kami mengutip sejumlah riwayat penting dari Imam Al-Baqir as. Beliau berkata, "Tidak ada seorang mukmin kecuali pada hatinya ada titik yang putih bersinar. Setiap kali, seseorang melakukan noktah hitam atau mengotori jiwanya dan bertaubat, maka ia akan kembali putih bersinar. Namun, jika ia tetap melakukan dosa dan bahkan menambah dosa, maka titik hitam itu akan semakin pekat sampai menutupi semua permukaan hatinya. Ketika seluruh bagian hati sudah menghitam, maka tak ada lagi kebahagiaan baginya."
 
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Aswad bin Katsir berkata, "Suatu hari, aku mendatangi Imam Baqir as untuk mengadukan perlakuan saudara-saudaraku. Beliau berkata; Sungguh saudara yang buruk adalah mendekatimu saat engkau kaya dan mampu, tapi ketika engkau jatuh miskin, ia meninggalkanmu. Setelah itu, Imam memberiku 700 dirham untuk menyelesaikan masalah yang melilitku."
 
Dalam nasehat lainnya, Imam Muhammad Bagir kepada anak-anaknya berpesan, "Keridhaan Allah terletak pada ketaatan kepada-Nya. Untuk itu, janganlah anggap remeh ketaataan kepada Allah Swt. Keridhaan ilahi bisa jadi terletak pada perbuatan kecil tersebut. Ketahuilah bahwa Allah Swt menyembunyikan kekasih-kekasih-Nya di tengah hamba-hamba-Nya. Untuk itu, janganlah merendahakan hamba-hamba Allah. Salah satu hamba Allah itu bisa jadi kekasih-Nya. 

Sumber: (IRIB Indonesia)

Selasa, 27 November 2012

Ketika Imam Shadiq as Mengajari Hisyam Menjawab Soal Bagaimana Bumi Dimasukkan ke dalam Telur

Hisyam bin Hakam merupakan sahabat hebat dan dekat dengan Imam Shadiq as. Suatu hari Hisyam bin Hakam bertemu dengan seorang ateis bernama Abdullah Deishani. Ia bertanya kepada Hisyam, "Apakah engkau memiliki Tuhan?"
 
Hisyam menjawab, "Iya."
 
Abdullah, "Apakah Tuhanmu itu maha kuasa?"
 
Hisyam, "Iya. Tuhahku selain Maha Kuasa juga menguasai segala sesuatu."
 
Abdullah, "Apakah Tuhanmu dapat memasukkan seluruh dunia ini dalam sebuah telur ayam, tanpa mengecilkan dunia dan membesarkan telur ayam?"
 
Hisyam berkata, "Tolong beri saya waktu untuk menjawab pertanyaanmu ini."
 
Abdullah mengatakan, "Saya memberimu waktu selama setahun untuk dapat menjawab pertanyaan ini."
 
Hisyam kemudian pergi menemui Imam Shadiq as. Sesampainya di hadapan Imam Shadiq as ia mengatakan, "Wahai putra Rasulullah Saw. Aku bertemu dengan Abdullah Deishani dan ia mengajukan pertanyaan kepada saya. Untuk menjawab pertanyaannya, saya tidak punya tempat untuk bersandar kecuali kepada Allah Swt dan Anda."
 
Imam Shadiq as bertanya, "Memangnya apa yang ditanyakannya kepadamu?"
 
Hisyam berkata, "Ia bertanya, ‘Apakah Allah mampu meletakkan dunia yang sebesar ini ke dalam telur ayam tanpa mengecilkan dunia dan membesarkan telur?"
 
Imam berkata, "Wahai Hisyam! Engaku memiliki berapa indera?"
 
Hisyam, "Saya memiliki lima indera; penglihatan, perasa, pendengaran, pembau dan peraba."
 
"Yang mana dari panca indera ini yang paling kecil," tanya Imam.
 
"Indera penglihatan," jawab Hisyam.
 
"Memangnya seberapa besar hitamnya mata?" Imam kembali bertanya.
 
"Hanya seukuran biji kacang atau lebih kecil dari itu," jawab Hisyam.
 
Imam kemudian berkata, "Wahai Hisyam! Sekarang lihatlah ke depan dan atas kepalamu. Katakan kepadaku apa saja yang engkau lihat?"
 
Hisyam menengadahkan kepalanya dan berkata, "Saya melihat langit, bumi, rumah, istana, padang pasir dan sungai."
 
Imam melanjutkan, "Allah yang Maha Kuasa menciptakan semua dengan ukuran yang sebesar itu berada di matamu. Oleh karenanya, Allah mampu meletakkan dunia ini ke dalam telur, tanpa harus mengecilkan dunia dan membesarkan telur ayam.
 
Saat itu juga Hisyam tunduk sebagai penghormatan kepada Imam Shadiq as dan langsung mencium tangan beliau. Ia berkata, "Wahai putra Rasulullah ! Jawaban ini sudah cukup bagi saya."
 
Hisyam kemudian kembali ke rumahnya.
 
Keesokan harinya Abdullah menemui Hisyam dan berkata, "Aku datang hanya ingin mengucapkan salam kepadamu, bukan untuk mengetahui apa jawaban dari pertanyaanku itu."
 
Hisyam menjawab, "Bila engkau menginginkan jawaban dari pertanyaanmu, maka ini jawabannya."
 
Kemudian Hisyam menjelaskan sesuai dengan yang dijelaskan oleh Imam Shadiq as.
 
Mendengar jawaban itu, Abdullah Deishani tidak puas dan ingin menemui sendiri Imam Shadiq as dan menyampaikan pertanyaannya. Ia kemudian pergi ke rumah Imam Shadiq dan meminta agar diizinkan masuk ke rumah. Ia akhirnya mengantongi izini dan langsung berjalan ke dalam dan duduk di dekat Imam. Ia berkata, "Wahai Jakfar bin Muhammad! Tolong tuntun aku menuju sesuatu yang aku sembah!"
 
Imam berkata, "Siapa namamu?"
 
Abdullah tidak mengucapkan namanya, tapi malah keluar dari rumah. Beberapa temannya heran menyaksikan sikapnya dan bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak mengatakan siapa namamu?"
 
Ia menjelaskan, "Bila aku mengatakan namaku adalah Abdullah yang berarti hamba Allah, maka saya dapat menebak pertanyaan selanjutnya Imam Shadiq adalah siapa yang engkau sembah."
 
Teman-temannya memintanya untuk kembali kepada Imam dan katakan kepadanya, "Tolong tuntun aku menuju sesuatu yang aku sembah, tapi jangan tanya namaku!"
 
Abdullah akhirnya kembali dan berkata kepada Imam Shadiq as, "Tolong tuntun aku menuju sesuatu yang aku sembah, tapi jangan tanya namaku!"
 
Imam Shadiq as kemudian mengisyaratkan kepadanya dan berkata, "Duduklah di sana."
 
Abdullah kemudian duduk. Pada waktu itu, seorang dari anak Imam Shadiq as sedang memegang memegang telur dan memainkannya sambil berjalan ke tempat duduk Abdullah.
 
Imam kemudian berkata kepada anakanya, "Berikan telur itu kepadaku."
 
Anaknya memberikan telur yang ada di tangannya kepada ayahnya dan Imam mengambilnya. Imam lalu menghadap Abdullah dan berkata:
 
"Wahai Deishani! Lihatlah telur ini yang dilindungi oleh:
1. Kulit yang keras.
2. Di balik kulit yang keras itu terdapat kulit yang lembut.
3. Di balik kulit yang lembut itu ada putih telur
4. Setelah itu adalah kuning telur yang berkumpul dengan putih telur tanpa bercampur satu dengan lainnya. Mereka tetap dalam kondisinya sejak awal. Tidak ada pihak ketiga dari luar yang menyusun mereka sedemikian rupa, sehingga dapat mengaku bahwa saya yang melakukannya. Begitu juga tidak ada perusak dari luar yang masuk ke dalam dan mengakatakan bahwa saya yang merusaknya. Tidak juga jelas apakah yang akan dihasilkan adalah anak jantan atau betina. Karena tiba-tiba telur ini pecah dan burung seperti merak yang berwarna-warni keluar dari telur itu.
 
Apakah menurutmu susunan yang begitu indah ini tidak memiliki pengatur?"
 
Abdullah Deishani tidak menjawab apa-apa. Kepalanya hanya bisa melihat ke bawah untuk beberapa saat. Setelah itu ia mengangkat kepalanya, sementara hatinya telah dipenuhi cahaya keimanan. Ia berkata, "Saya bersumpah "Laa Ilaaha Illallah", "Muhammad Rasulullah" dan Anda adalah hujjah Allah di tengah masyarakat. Saya bertaubat atas akidah batil yang saya yakini dahulu dan saya sangat menyesal.

Sumber:
Dastanha-ye Usul Kafi, Mohammad Mohammadi Eshtehardi, 1371Hs,  jilid 1.
(IRIB Indonesia)

140 Syahid, 300 Fajr Baru Lahir di Gaza

Walikota Khan Yunis, di timur Jalur Gaza mengkonfirmasikan kelahiran lebih dari kelahiran 300 bayi selama Perang Delapan Hari melawan rezim Zionis Israel.
 
Qodsna (27/11) melaporkan, Walikota Khan Yunis mencatat permohonan 300 akte kelahiran baru.
 
Di lain pihak, Mahmoud Salim, Ketua Kantor Catatan Sipil Khan Yunis menyatakan bahwa 300 bayi itu lahir di Jalur Gaza selama Perang Delapan Hari.
 
Jumlah syuhada Palestina dalam agresi Israel ke Jalur Gaza mencapai 140 orang termasuk 45 anak kecil.
 
Sebelumnya diberitakan, warga Palestina di Jalur Gaza segera memberi nama putra-putri mereka yang baru lahir dengan Fajr, seperti nama roket dan rudal yang diberikan Iran kepada muqawama Palestina. Rudal dan roket tersebut telah membantu muqawama Palestina mengukir kemenangan historis mereka dalam melawan agresi Israel dalam perangnya selama delapan hari di Gaza.

Sumber: (IRIB Indonesia)

12 Muharam, Tawanan Karbala Tiba di Kufah

Tawanan Karbala Tiba di Kufah
 
Tanggal 12 Muharam tahun 61 Hijriah, setelah Imam Husein dan para pejuang Karbala gugur syahid, para anggota kafilah yang tersisa, yaitu kaum perempuan, anak-anak, dan Imam Ali Zainal Abidin, yang saat itu tengah sakit parah, digiring oleh pasukan Yazid ke kota Kufah.
 
Selain sebelumnya Ubaidillah bin Ziyad telah melakukan propaganda salah untuk menentang Imam Husein as dan para keturunannya, dan memperkenalkan beliau sebagai orang asing, kini ia juga mendorong rakyat Kufah untuk hadir dalam pesta perayaan kemenangan.
 
Rakyat Kufah yang gembira atas kemenangan ini berdatangan ke lorong-lorong dan pasar untuk melihat para tawanan. Namun tiba-tiba kegembiraan sebagian besar dari mereka yang memiliki sedikit cahaya keimanan di dalam kalbu berubah menjadi api kebencian dan kesedihan saat mendengar pidato Imam Sajjad as dan bibinya, Zainab Kubra as yang mencerahkan.
 
Selama berada di Kufah, kedua manusia agung ini bersama mereka yang tersisa dari tragedi Karbala, berada di antara rakyat sebagai tawanan perang dan berjalan di antara kepala-kepala syuhada Karbala yang ditancapkan di ujung-ujung tombak.
 
Perlahan-lahan, para penduduk Kufah mempertanyakan keturunan dan asal para tawanan ini. Mereka memasuki Darul Imarah dengan keraguan dan pertanyaan-pertanyaan yang senada hingga akhirnya mendapatkan jawabannya dalam pertemuan Ubaidullah bin Ziyad, penguasa bengis Kufah dan penyebab utama kesyahidan Imam Husein as.
 
Di depan kemarahan para tawanan dan penduduk, Ubaidillah bin Ziyad mengambil tongkat kayu seraya memukul kepala mulia Imam Husein as dan menyatakan bahwa kejadian ini merupakan kemenangan baginya di medan laga, dan terbunuhnya Imam Husein merupakan kehendak-Nya. Saat itulah ia mendapatkan jawaban yang mematikan dan sangat pedas dari Zainab as dan Imam Ali bin Imam Husain as yang menyebabkan kehinaan Yazid dan para keturunan Yazid.
 
Setelah sehari (atau beberapa hari, menurut sebuah riwayat) Ibnu Ziyad membawa kepala-kepala para syuhada untuk berkeliling di lorong-lorong dan tempat-tempat di Kufah, ia kemudian mengirimkan mereka ke Yazid bin Muawiyah di Syam. Setelah itu, menyerahkan para tawanan pada tanggung jawab Mukhaddhar bin Tsa'labah ‘Aidzi dan Syimr bin Dzil Jausyan untuk membawa mereka ke Syam. Ia memerintahkan supaya tubuh Zainal Abidin as diikat, kedua tangannya dikuncikan di leher, kemudian dinaikkan ke atas seekor unta yang tak berperlengkapan.
 
Imam Ali Zainal Abidin Syahid
 
Tanggal 12 Muharam tahun 95 Hijriah (dalam sebuah riwayat), Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain as, yang terkenal dengan nama Imam Sajjad, gugur syahid. Imam Sajjad adalah salah satu saksi peristiwa Karbala. Saat itu, beliau sakit keras sehingga tidak bisa ikut bertarung melawan pasukan Yazid. Setelah gugur syahidnya Imam Husein di Karbala, tampuk imamah diambil alih oleh Imam Sajjad as.
 
Sepanjang hidupnya, Imam Sajjad selalu berjuang menyebarkan ajaran Islam yang hakiki dan menyampaikan pesan perjuangan Karbala. Imam Sajjad dikenal sebagai orang yang sangat rajin beribadah dan bermunajat kepada Allah. Doa-doa indah yang sering beliau ucapkan, dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul "Sahifah Sajjadiah". 

Sumber: (IRIB Indonesia)

I’tiqad sunni bahwa “semua sahabat itu adil” adalah doktrin dari rezim Umayyah Abbasiyah untuk menutupi kedzaliman yang dilakukannya

INILAH REKAMAN ABADI YANG TIDAK TERBANTAHKAN.
INILAH REKAMAN ABADI YANG TIDAK AKAN PERNAH TERHAPUS.
INILAH REKAMAN ABADI YANG AKAN MENJADI BUKTI OTENTIK BAGI ORANG YANG BERAKAL SEHAT.

Warisan sejarah Islam, jika kita ingin bersikap obyektif, tidak sepenuhnya bercerita mengenai keteladanan para sahabat Nabi, tetapi juga bercerita mengenai pengkhianatan sahabat Nabi, saling caci bahkan saling bunuh diantara sahabat Nabi. Membaca sejarah umat manusia yang penuh dengan intrik dan tendensi rasanya sulit sekali menyimpulkan kebenarannya seratus persen. Disamping itu, ketika kita membaca sejarah, kita di ajak untuk menelusuri zona “spekulasi” antara asbab al-waqi’ dan motif sang pelakon. Disinilah dibutuhkan kearifan dan ketelitian dalam menelusuri lembaran-lembaran sejarah apalagi sejarah pertikaian awal umat Islam. Pada akhirnya, sejarah itu akan bertutur tentang hikmah dan pelajaran berharga untuk umat selanjutnya.

Diriwayatkan dari Abu Jum’ah RA yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”.

Sekarang mari kita lihat pendapat Quran mengenai kategori sahabat yang berbeda-beda. Sahabat golongan pertama ditunjukkan oleh Allah dalam ayat berikut:

Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir, (tetapi) berkasih sayang diantara mereka. Engkau akan melihat mereka ruku dan sujud (shalat), memohon anugerah Allah dan ridha-(Nya). Pada wajah – wajah mereka terdapat tanda, bekas sujud mereka. Demikianlah sifat – sifat mereka dalam Taurat; dan begitu pula dalam Injil seperti tanaman yang memunculkan tunasnya, kemudian tunas itu menguatkannnya, lalu menjadi lebat, dan tegak lurus diatas batangnya (memberikan) penanamnya kesenangan dan harapan. Tetapi, membuat marah orang – orang kafir. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara mereka yang beriman dan beramal saleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Fath : 29).

Sahabat-sahabat ini tidak diperdebatkan oleh Syi’ah dan Sunni. Karenanya, tidak akan dibahas di sini. Akan tetapi, perhatikan apa yang difirmankan Allah Yang Maha Bijak pada kalimat terakhir: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara mereka yang beriman dan beramal saleh ampunan dan pahala yang besar.” Perhatikan kata, “orang-orang di antara mereka… “ Mengapa Allah tidak mengatakan “Allah telah menjanjikan kepada semua orang dari mereka?” Karena tidak semua orang beriman. Itulah yang mazhab Syi’ah coba sampaikan kepada dunia. mazbab Sunni, kapan pun mereka bershalawat kepada Nabi Muhammad, mereka pun bershalawat kepada semua sahabat, tanpa terkecuali. Mengapa Allah SWT membuat kekecualian sedang mazhab Sunni tidak?

Lebih dari itu, ayat tersebut menyebutkan secara khusus orang-orang yang setia bersama Nabi Muhammad, dengan arti taat kepadanya dan tidak menentang atau menjelek-jelekkannya. Tentunya orang-orang munafik berada di dekat Nabi dan berusaha mendekatkan diri mereka kepadanya, akan tetapi tidak ada kaum Muslimin yang menyebutkan mereka berdasarkan ayat yang berbunyi, “Orang-orang yang bersama Nabi Muhammad. “
Berkenaan dengan sahabat golongan kedua ini, Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang beriman! Apa yang terjadi dengan kalian! Apakah sebabnya ketika kalian di perintahkan untuk berperang di jalan Allah kalian merasa keberatan? Manakah yang lebih kalian sukai, dunia ini atau kehidupan akhirat? Jika kalian tidak man berangkat perang, ia akan mengazabmu dengan azab yang sangat pedih dan menggantikan kalian dengan yang lain; tetapi Allah tidak akan merugikan kalian sedikitpun karena Allah berkuasa atas segala sesuatu.(QS. at-Taubah : 38-39).
Ayat ini merupakan petunjuk yang jelas bahwa sahabat-sahabat tersebut malas ketika ada seruan jihad dan perintah lain, sehingga mereka patut mendapatkan peringatan Allah SWT. Ayat ini bukan satu-satunya contoh ketika Allah mengancam akan menggantikan mereka: “…Apabila kalian berpaling (dari jalan ini), ia akan menggantikanmu dengan kaum lain, agar mereka tidak seperti kalian!” (QS. Muhammad : 38).
Dapatkah ditunjukkan siapa yang dimaksud ‘kalian’ pada ayat di atas?
Allah juga berfirman: “Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian mengeraskan suaramu melebihi suara Nabi… agar tidak terhapus pahalamu sedang kalian tidak menyadari. “ (QS. al-Hujurat : 2).
Hadis-hadis sahih dari mazhab Sunni menegaskan bahwa ada beberapa sahabat yang suka menentang perintah Nabi Muhammad SAW dan berdebat dengannya pada banyak peristiwa. Peristiwa tersebut di antaranya:
  • Usai perang Badar, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk membebaskan tawanan-tawanan perang sebagai tebusan dalam membayar fidyah tetapi para sahabat ini tidak melakukannya;
  • Pada perang Tabuk, Nabi Muhammad memerintahkan mereka menyembelih unta untuk menyelamatkan nyawa mereka tetapi beberapa sahabat menentangnya;
  • Pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah, Nabi bermaksud berdamai dengan orang-orang Mekkah tetapi sahabat-sahabat yang sama menen¬tangnya. Bahkan mereka meragukan kenabian Nabi Muhammad SAW.
  • Pada perang Hunain, mereka menuduh Nabi Muhammad tidak adil dalam membagi – bagikan harta rampasan perang; Ketika Utsman bin Zaid diangkat Nabi Muhammad menjadi pemimpin pasukan perang Islam, sahabat-sahabat ini tidak menaati Nabi dengan tidak mengikutinya.
  • Pada hari kamis yang sangat tragis Nabi ingin mengungkapkan keinginannya, akan tetapi sahabat-sahabat yang sama Pula ini pun menuduh Nabi tengah meracau dan ia mencegah Nabi mengungkapkan keinginannya.
Masih banyak lagi riwayat-riwayat seperti itu yang bahkan dapat ditemukan dalam Shahih al-Bukhari. Mengenai sahabat golongan ketiga, terdapat sebuah surah dalam Quran yang seluruhnya bercerita tentang mereka yaitu surah al-Munafiqun mengenai orang-orang munafik.
Di samping itu, banyak pula ayat mengenai Sahabat-sahabat ini. Allah berfirman:
Muhammad itu tidak lebih dari seorang Rasul telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Apakah bila ia wafat atau terbunuh, kamu akan berpaling dari agamamu? Barang siapa yang berpaling dari agamanya, tidak sedikitpun ia merugikan Allah; Namun Allah (sebaliknya) akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur (berjuang untuk-Nya) (QS. Ali Imran : 144).
Ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat melarikan diri dari perang Uhud,saat mereka mendengar berita bohong bahwa Nabi Muhammad terbunuh. Meski di kemudian hari Allah SWT mengampuni mereka, akan tetapi ayat di atas memberi suatu kemungkinan bahwa beberapa sahabat akan meninggalkan Islam jika Nabi Muhammad meningggal. Tetapi Allah membuat kekecualian “dan orang-orang yang bersyukur (berjuang untukNya).“

Pada ayat lain Allah berfirman:
Hai, orang-orang beriman! Barang siapa di antara kalian yang berpaling dari agamanya, Allah akan membangkitkan suatu kaum yang Allah cintai dan merekapun mencintai-Nya,… yang bersikap lemah lembut kepada orang-orang berirnan, tetapi bersikap keras kepada orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tiada pernah merasa takut terhadap kecaman orang-orang. Itulah karunia Allah yang akan la berikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberiannya san Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. al-Maidah : 54).

Kenyataan bahwa para sahabat Nabi bertengkar dan perang berkobar setelah Nabi wafat sangatlah terkenal. Selain itu, para sahabat yang terpecah-pecah ditunjukkan Allah SWT dengan ayat berikut:
Hendaknya ada di antara kalian, segolongan umat yang mengajarkan pada kebaikan, menyuruh berbuat makruh, dan melarang berbuat munkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Tetapi janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang sengketa setelah datang kepada kealian bukti yang nyata. Bagi mereka di sediakan azab yang mengerikan. Pada hari itu ada orang-orang yang mukanya putih berseri, dan anda orang-orang yang wajahnya hitam muram. Kepada mereka yang wajahnya hitam muram dikatakan, “Apakah kalian ingkar sesudah beriman? Maka rasakanlah siksa yang pedih karena keingkarannya!” (QS. Ali Imran : 104-106).

Ayat di atas menunjukkan bahwa ada segolongan umat yang senantiasa beriman. Ayat ini menekankan baha segolongan umat di antara mereka tidak mencakup semua orang. Akan tetapi kalimat berikutnya menjelaskan golongan ketiga yang ingkar (berpaling) dari agama mereka setelah Rasulullah wafat.

Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari perhitungan akan ada dua golongan, yang satu berwajah putih dan yang kedua dengan wajah hitam muram. Itulah petunjuk lain bahwa para sahabat akan terpecah belah.

Berikut ini beberapa ayat lainnya yang menerangkan sahabat golongan ketiga serta perbuatan mereka:
Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengucapkan sesuatupun (yang buruk), padahal sebenarnya mereka telah mengucapkan fitnah, dan mereka mengatakannya setelah mereka memeluk Islam, dan mereka merencanakan maksud jahat yang tidak dapat mereka lakukan. Dendam mereka ini adalah balasan mereka atas karunia yang telah Allah serta Rasulnya berikan kepada mereka! Jika mereka bertaubat itulah yang terbaik untuk mereka, akan tetapi jika mereka berpaling (kepada keburukan), Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan mereka tidak mempunyai penolong di muka burni ini (QS. at-Taubah : 74).
Akibatnya Allah membiarkan tumbuh kemunafikan di hati mereka, (kekal) hingga hari itu merekar akan bertemu dengan-Nya, karena mereka melanggar perjanjian dengan Allah, dan karena mereka terns menerus berkata dusta.(QS. at-Taubah: 77).
Sifat arang Arab itu lebih pekat kekafirannya dan kemunafikannya, dan tentunya lebih tidak mengerti perintah yang telah Allah turunkan kepada Utusan-Nya, tetapi Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (QS. at-Taubah : 97).
Tidakkah kamu pikirkan orang – orang yang mengakui dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan orang – orang sebelummu ? keinginan mereka (sebenarnya) adalah mengambil keputusan (dalam pertikaian mereka) dengan Taghut, sekalipun mereka sudah diperintahkan untuk menolaknya. Tetapi syaitan ingin menyesatkan mereka sejauh – jauhnya (dari jalan yang benar). (QS. An-Nisa : 60).
Di hati mereka ada penyakit, dan Allah menambah penyakit itu. Begitu pedih siksan yang mereka dapatkan, karena mereka berdusta (pada diri mereka sendiri) (QS. al-Baqarah : 10).

Sekarang kita perhatikan ayat berikut.
Apakah masih belum tiba waktunya bagi orang-orang beriman supaya tunduk hatinya dalam mengingat Allah dan kebenaran yang di turunkan (kepada mereka) agar mereka tidak meniru-niru orang-orang yang telah di beri kitab sebelumnya, setelah masa berlalu sehingga hati mereka menjadi keras? Sebagian besar di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Hadid : 16).

Mungkin ada beberapa terjemahan yang menyatakan bahwa ayat di atas menerangkan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini tidaklah benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri. Pertama, Allah SWT tengah menerangkan para sahabat dan kemudian menyamakan mereka dengan Yahudi dan Nasrani.

Mengapa Allah berkata kepada kaum Yahudi dan Nasrani, “Apakah belum tiba waktunya bagi orang-orang beriman agar mereka tunduk dalam mengingat Allah… “ dan kemudian berkata, “dan janganlah. kalian seperti orang-orang yang telah di beri kitab sebelumnya.. . “

Mengapa Allah SWT membuat perbandingan kaum Nasrani (Yahudi) dengan kaum mereka sendiri? Apakah hal. ini masuk akal? Tentu tidak, Allah tidak bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Akan tetapi, ayat ini turun sebagai pertanyaan Allah berkenaan dengan beberapa orang kaum Muhajirin, setelah 17 tahun Quran turun hati mereka belum yakin sepenuhnya sehingga Allah mencela mereka. Pada kalimat terakhir, Allah menunjukkan bahwa ada orarig-orang fasik di antara mereka.

Seperti yang kami sebutkan, ada beberapa ayat Quran yang mengagumi sahabat golongan pertama. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut tidak meliputi semua sahabat. Quran seringkali menggunakan sebutan ‘orang-orang beriman di antara mereka’ atau ‘orang-orang yang pertama kali beriman di antara mereka’ yang menunjukkan bahwa kata – kata tersebut tidak menerangkan kepada semua sahabat. Sebenarnya ada orang-orang munafik diantara sahabat Nabi. Jika orang – orang munafik ini diketahui mereka pasti tidak lagi dikenal sebagai orang munafik tetepi sebagai musuh.

Selain itu, ketika Allah berfirman, “Aku telah ridha dengannya hingga kini… “, tidak menyiratkan makna bahwa mereka akan juga berlaku baik dimasa yang akan datang. Tidaklah dapat dipahami jika Allah memberikan hak imunitas yang permanen kepada orang-orang yang telah berbuat baik sebelumnya, tetapi kemudian mereka menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin sepeninggal Nabi Muhammad. jika demikian, artinya seorang sahabat dapat menggugurkan semua aturan Allah SWT serta perintah perintah Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, sebagaimana yang kami sebutkan, mazhab Syi’ah tidak mendiskreditkan semua sahabat. Ada sahabat-sahabat Nabi yang memang sangat kami hormati yaitu mereka yang Allah puji dalam Quran.

Ayat-ayat dalam Quran ini tentunya tidak meliputi semua sahabat. Allah berfirman:
Dan orang-orang yang mula-mula (beriman) di antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Allah telah ridha kepada mereka. la telah menyediakan bagi mereka surga yang banyak mengalir sungai-sungai di dibawahnya untuk mereka tinggali selamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar (QS. at-Taubah : 100).

Dan (bagaimanapun) di antara orang-orang Arab terdapat orang – orang munafik, dan juga di antara orang-orang Madinah (ada) orang – orang yang yang kemunafikan telah mendarah daging, yang engkau tidak ketahui (Hai, Muhammad). Kami mengenali mereka dan kami akan menyiksa mereka dua kali lebih pedih, kemudian mereka akan dilemparkan kedalam siksaan yang nienyakitkan.(QS.at-Taubah : 101)

Ayat – ayat tersebut menunjukkan bahwa:
  1. Allah ridha kepada mereka, tetapi belum tentu ridha di masa datang;
  2. Allah menunjukan orang – orang yang pertama kali beriman di antara mereka. Artinya ia tidak menunjukan semua sahabat;
  3. PAda ayat berikutnya, Allah membahas tentang orang – orang munafik di sekeliling Nabi yang berpura – pura menjadi sahabat sejati. Bahkan Nabi Muhammad sendiri, berdasarkan ayat di atas, tidak mengetahui mereka. Hal. ini sesuai dengan hadis Shahih al-Bukhari yang disebutkan di atas bahwa Allah akan berkata kepada Rasul-Nya, “Engkau tidak mengetahui apa yang telah di perbuat Sahabat-sahabatmu setelah engkau tiada.“
Shahih al-Bukhari hadis 4375; diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad berkata kepada kaum Anshar :
Kalian akan menemukan kekufuran yang sangat besar sepening¬galku. Bersabarlah kalian hingga kalian bertemu Allah dan Rasul¬Nya di telaga Kautsar (telaga di surga). (Anas menambahkan, “Tetapi kami tidak bersabar.”)

Shahih al-Bukhari hadis 5488; diriwayatkan dari Musaiyab bahwa dia bertemu Bara bin Azib dan berkata (kepadanya):
Semoga engkau hidup sejahtera! Engkau merasakan kebahagiaan sebagai sahabat Nabi dan berbaiat kepadanya (al-Hudaibiyyah) di bawah pohon (al-Hudaibiyyah). (Mengenai hal. ini, Bara berkata, “Wahai keponakanku, Engkau tidak tahu apa yang telah kami perbuat sepeninggalnya.”)

Tentunya, terdapat ayat-ayat Quran di mana Allah menggunakan kata kerja lampau tetapi dimaksudkan untuk masa sekarang atau masa yang akan datang. Tetapi masalahnya bukan selalu hal. itu. Ada banyak ayat-ayat Quran ketika Allah dengan jelas menyatakan bahwa ia mengubah keputusan-Nya berdasarkan perbuatan kita setiap detik. Allah tidak menempati ruang dan waktu tetapi la memiliki kekuasaan untuk mengubah keputusan-Nya dalam dimensi waktu.

Tentunya la sudah lebih dulu mengetahui apa yang la kehendaki untuk berubah kemudian, dan la Maha Mengetahui atas segala sesuatu. la tidak memperlakukan seorang beriman dengan cara yang buruk saat ini, meskipun la mengetahui bahwa orang beriman ini akan kafir di kemudian hari.

Untuk menjelaskan poin ini, lihat Quran seperti surah al-Anfal ayat 65-66, al-A’raf ayat 153, an-Nahl ayat 110 dan 119, ar-Ra’d ayat 11, di mana Allah SWT dengan jelas menyatakan bahwa ia mengubah keputusan-Nya atas dasar perbuatan kita.

Anda dapat menemukan ayat-ayat serupa dalam Quran. Oleh karenanya, keputusan Allah tentang manusia berubah setiah waktu berdasarkan perbuatan kita. Jika kita berbuat baik, la akan ridha kepada kita, dan jika kita berbuat buruk, la akan murka, dan seterusnya. Para sahabat tentu tidak terlepas dari aturan ini. Siapapun yang berbuat kebajikan, Allah akan ridha dengan kepadanya, tidak memandang apakah ia sahabat Nabi atau bukan.

Allah Maha Adil. la tidak membeda-bedakan antara sahabat dan orang-orang yang hidup saat itu. Tidak ada seorangpun yang memberikan jaminan masuk surga jika ia berbuat jahat, menumpahkan orang – orang yang tidak berdosa. Jika tidak, maka Allah tidak adil. Allah tidak adil.

Allah berfirman dalam Quran “Setiap diri bertanggung jawab atas segala perbuatannya.” (QS.al-Mudatstsir : 38); “Penuhilah janjimu, maka Aku akan memenuhi janji- Ku.” (QS. Al-Baqarah : 40 ).

Mari kita perhatikan ayat-ayat Quran berikut yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang yang sangat mulia, yang pantas masuk surga, dapat menghanguskan semua perbuatan baiknya dalam sekejap. Maka janganlah menilai perbuatan baik seseorang yang pernah diperbuatnya, jika ada, kita harus senantiasa melihat hasil akhir setiap orang.

Bahkan Nabi Muhammad sendiripun tidak mengetahui takdirnya hingga ia wafat (yaitu hingga ia melalui ujian terakhir) karena ia juga memiliki kebebasan untuk berbuat buruk. Allah berfirman:
Hai Rasulullah, jika engkau mempersekutukan Allah, amal salehmu akan terhapus, dan engkau termasuk orang-orang yang merugi (QS. az-Zumar : 65).

Kalau amal saleh Rasul sendiripun terancam terhapus, jelaslah bagaimana kita menilai para sahabat. Tentu saja Nabi Muhammad tidak menghapus perbuatan baiknya, tetapi ada kemungkinan kalau amal salehnyapun dapat terhapus.

Dan jika di antara kalian yang berpaling dari agamanya dan mati dalam keadaan kafir, maka hapuslah semua pahala amal kebajikannya, di dunia ini dan akhirat, dan mereka akan menjadi penghuni neraka selamanya (QS. al-Baqarah : 277).

Orang – orang yang kembali kafir setelah beriman dan semakin meningkat kekafirannya, sekali – kali tidak akan diterima taubatnya dan mereka itu adalah orang – orang yang sesat (QS. Ali Imran : 90).

Pada hari kiamat, ada orang – orang yang wajahnya putih bercahaya dan ada orang – orang yang wajahnya hitam kelam. Kepada mereka berwajah hitam dikatakan : “ Mengapa kalian sesudah beriman ? Rasakanlah siksaan ini karena kekafiranmu !” (QS. Ali Imran : 106).

Orang yang telah beriman, lalu ia kafir, kemudian ia beriman kembali, lalu kafir kembali, dan semakin pekat kekafi’rannya, Allah tidak akan mengampuni dan menunjuki mereka jalan (QS. an-Nisa : 137).

Maka, sangatlah mungkin bagi seorang beriman yang telah diridhoi Allah, menjadi kafir di kemudian hari. Sebaliknya, jika seseorang telah dijanjikan bahwa Allah meridhainya selamanya dan tanpa syarat, tidak masalah apakah ia menumpahkan darah orang-orang tidak berdosa atau berbuat jahat di kemudian hari, berarti ia tidak lagi mendapat cobaan dari Allah. Hal. ini bertentangan dengan banyak ayat Quran.

Alquran merekam kualitas keimanan kaum muslimin di sekitar nabi (red :baca sebagai shahabat), diantaranya dicantumkan dalam surat Attaubah.

Pada beberapa puluh ayat pertama, menerangkan tentang perintah untuk memutuskan perjanjian dengan kaum musyrikin quraish. Sedang ayat-ayat berikutnya menceritakan kualitas orang orang yang mengaku islam di sekitar nabi (= shahabat). Ayat 100 yang dijadikan landasan ‘udul’ nya sebagian shahabat oleh sebagian ulama sunni misalnya, langsung disambung dengan ayat 101 yang menceritakan bahwa sebagian lainnya adalah munafik, serta sebelumnya ayat 97-98 menjelaskan bahwa sebagian muslim disekitar nabi itu adalah badui yang ‘lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasulnya’, ‘amat sangat kekafirannya’, ‘merasa rugi menafkahkan zakat’ dll. Sebagian lagi diterangkan dalam ayat 102 adalah “mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk”.

Bahkan dalam memahami QS Attaubah:100 (dan 117) di atas dimana Allah mengatakan Ridho terhadap mereka. Maka ayat tersebut menunjuk pada SEBAGIAN (bukan SELURUHNYA) diantara Muhajirin dan Anshar yang pada peristiwa hijrah (“DI ANTARA orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”) + orang-orang muslim lainnya yang mengikuti mereka dengan baik. Orang yang tersangkut dalam peristiwa hijrah paling hanya ratusan orang dan bukan 140000 orang, apalagi Allah mengatakan bahwa hanya SEBAGIAN diantara mereka yang diridhoi oleh Allah SWT jadi mungkin hanya puluhan saja yang masuk dalam QS 9:100 tersebut. Untuk orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini maka kaum muslim diperintahkan menghormati mereka. Sebagian besar diantara mereka ini adalah 70 syuhada dalam perang uhud.

Murtad bermakna telah mengubah hukum-Nya dan Sunnah Nabi-Nya seperti disinyalir dalam QS 3:144 dan 5:54.

Murtad atau kafir  bermakna : “mengkhianati janji setia atau meninggalkan wasiat atau membelot dari kesetiaan” dan tidak di artikan keluar dari agama islam (bukan kafir tulen, bukan murtad tulen)
Kebanyakan dari 140.000 orang tersebut masuk islam karena menyerah dalam perang Khaibar, ataupun Fatah Mekkah serta perang-perang lain yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir menjelang wafatnya Rasulullah. Sebagian diantara orang yang menyerah (dan mengaku sebagai muslim) ini bahkan memiliki kedengkian yang besar terhadap Rasulullah dan orang orang terdekatnya karena kekalahan dalam peperangan dengan Rasulullah SAAW, karena terbunuhnya anggota keluarga mereka oleh Rasulullah dan orang-orang terdekatnya.

Tentang Syi’ah kafirkan sahabat ??
Murtad atau kafir  bermakna : “mengkhianati janji setia atau meninggalkan wasiat atau membelot dari kesetiaan” dan tidak di artikan keluar dari agama islam (bukan kafir tulen, bukan murtad tulen).. Syi’ah menganggap mayoritas sahabat pasca wafat Nabi SAW tidak patuh, jadi hanya segelintir yang selamat di haudh.. Namun mayoritas sahabat Nabi SAW yang wafat masa Nabi SAW hidup mayoritas masuk surga..

Kafir dan Murtad yang dimaksudkan syi’ah bukan seperti kafirnya Abu Thalib versi Sunni, sama sekali tidak.. Syiah meski memiliki beberapa kritikan terhadap para khalifah namun mereka tidak memandangnya sebagai orang murtad. Apabila pada sebagian riwayat Ahlusunnah terdapat penyandaran kemurtadan terhadap para sahabat Rasulullah Saw maka Syiah tidak memaknainya sebagai kemurtadan dalam pengertian teknis teologis.

Kafir dan murtad versi syi’ah dapat diumpakan seperti kafir/murtad nya orang yang MALAS  SHALAT  FARDHU

Adapun sahabat Nabi SAW diluar yang 7 orang seperti Hujr bin Adi dll tetap dianggap ahli surga..
.
Rasulullah (Saw.) mengatakan bahawa majoriti sahabat telah menjadi murtad selepas kewafatannya (bukan kafir tulen, bukan murtad tulen tetapi tidak patuh pada wasiat), kerana mereka telah mengubah atau membatalkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah (Saw.). Hanya sedikit sahaja bilangan mereka terselamat. Syi‘ah tidak mengkafirkan mereka tetapi al-Bukhari dan Muslim telah mencatat di dalam Sahih Sahih mereka mengenai perkara tersebut.
.
Seperti  dalam hadis Imam Bukhari juga dari Ibnu Umar, ia mendengar Nabi saw. bersabda:
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِى كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kamu kembali menjadi kafir sepeninggalku nanti, sebagian dari kamu menebas leher sebagian yang lain.”

Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Bakrah, Jarir dan Ibnu Abbas dari Nabi saw. (Shahih Bukhari,9/63-64, Shahih Muslim, 1/58)
.
Shahih Bukhari,Hadits No.3100 :

3100. Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan telah bercerita kepada kami Al Mughirah bin an-Nu’man berkata telah bercerita kepadaku Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (pada hari qiyamat) dalam keadaan telanjang dan tidak dikhitan. Lalu Beliau membaca firman Allah QS al-Anbiya’ ayat 104 yang artinya (Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan yang pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti dari Kami. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya). Dan orang yang pertama kali diberikan pakaian pada hari qiyamat adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan ada segolongan orang dari sahabatku yang akan diculik dari arah kiri lalu aku katakan: Itu Sahabatku, Itu sahabatku. Maka Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya mereka menjadi murtad sepeninggal kamu. Aku katakan sebagaimana ucapan hamba yang shalih (firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 117 – 118 yang artinya (Dan aku menjadi saksi atas mereka selagi aku bersama mereka. Namun setelah Engkau mewafatkan aku…) hingga firman-Nya (….Engkau Maha Perkasa lagi Maha bijaksana).

Dengan pandangan sunni  maka tingkah laku Muawiyah (shahabat yang masuk islam setelah fatah mekkah ?) yang menyerang kekhalifahan Ali dianggap ‘atas kehendak Allah’, tidak secuilpun ulama sunni mengecam Muawiyah bahkan menceritakan kebaikan Muawiyah dalam banyak hadist, Mengapa? karena Muawiyah adalah sahabat nabi !. Sedangkan ulama syiah mengecam tingkah laku Muawiyah habis-habisan. Ulama sunni juga menceritakan kebaikan Abu Sufyan (sahabat yang masuk islam pada fatah mekkah) karena dia adalah sahabat, sedangkan ulama syiah menceritakan busuknya kebencian Abu Sufyan terhadap islam.

Kaum syiah menolak ijtihad Umar bin Khattab tentang sholat Tarawih dan Nikah Mutah maupun dalam beberapa hal lainnya karena dianggap bertentangan dengan kata-kata Rasulullah SAAW sendiri. Karena kaum syiah berani menolak ijtihad Umar maka dikatakan menodai kesucian sahabat Rasul. Kaum syiah juga menolak keras ijtihad Abu Bakar dalam hal ‘Tanah Fadak’, yang mengakibatkan memutus urat nadi ekonomi ahlulbait nabi. Karena penolakan ini maka kaum syiah dianggap mengecam shahabat. Kaum syiah juga menolak ijtihad Aisyah yang menggerakkan ribuan muslim menyerang khalifah Ali sehingga mengakibatkan ribuan kaum muslimin tewas. Karena penolakan ini maka dianggap kaum syiah menodai kehormatan sahabat nabi.

Saya kutipkan sebagian ayat-ayat dalam surat attaubah tsb: Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali kemudian mereka akan di kembalikan kepada azab yang besar. (QS. 9:101).

Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukan dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (QS. 9:56).
Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan:”Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah:”Ia mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mu’min, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. (QS. 9:61).
Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang labih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mu’min. (QS. 9:62).

Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya barangsiapa menentang Allah dan Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS. 9:63).
Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, DAN TELAH MENJADI KAFIR SESUDAH BERIMAN, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka denga azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS. 9:74).
SYi’AH : Sahabat ada yang baik, ada yang jahat dan ada yang munafiq (berdasarkan nas). Oleh karena itu para sahabat harus dinilai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw (yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an secara keseluruhan).
SYi’AH : Segala bentuk pujian atau celaan dari Allah swt kepada sahabat penentang Imam Ali adalah dari Sifat fi’l (sementara), bukan dari Sifat Zat (kekal). Karena disebabkan sifatnya sementara (saat itu) selanjutnya tergantung dari kelakuan/ perbuatan mereka kemudian apakah bertentangan dengan nas atau tidak.
AHL-SUNNAH : Kepatuhan kepada semua Sahabat (Sa’ira Ashab al-Nabi) (al-Ibanah, hlm. 12) kenyataan al-Asy’ari memberikan implikasi:
  • Sahabat semuanya menjadi ikutan. Tidak ada perbedaan di antara Sahabat yang mematuhi nas, dan Sahabat yang bertentangan nas.
  • Mentaqdiskan (mensucikan) Sahabat tanpa menggunakan penilaian al-Qur’an, sedangkan banyak terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang mencela perbuatan mereka, karena mereka bertentangan dengan nas (lihat umpamanya dalam Surah al-Juma’at (62): 11).
  • Mengutamakan pendapat sahabat dari hukum Allah (swt) seperti hukum seseorang yang menceraikan isterinya tiga kali dengan satu lafaz, walau menurut al-Qur’an jatuh satu dalam satu lafaz dalam Surah al-Baqarah (2): 229, yang terjemahannya, “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.” Tetapi ketika Khalifah Umar mengatakan jatuh tiga mereka mengikuti (al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 137), Ahl-Sunnah al-Asya’irah menerimanya dan dijadikannya “hukum” yang sah sekalipun bertentangan nas (al-Farq baina l-Firaq, hlm. 301).
  • Mengutamakan Sunnah Sahabat dari Sunnah Nabi Saw seperti membuang perkataan Haiyy ‘Ala Khairil l-’Amal di dalam azan dan iqamah oleh khalifah Umar, sedangkan pada waktu Nabi hal itu merupakan sebagian dari azan dan iqamah. Begitu juga Khalifah Umar telah menambahkan perkataan al-Salah Kherun mina l-Naum (al-Halabi, al-Sirah, Cairo, 1960, II, hlm. 110).
  • Kehormatan Sahabat tidak boleh dinilai oleh al-Qur’an, karena mereka berkata: Semua sahabat adalah adil (walaupun bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw).
  • Menilai kebenaran Islam adalah menurut pendapat atau kelakuan Sahabat, dan bukan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Mereka berkata kebenaran berada di lidah Umar. Karena itu mereka berpegang kepada pendapat Khalifah Umar yang mengatakan dua orang saksi lelaki di dalam talak tidak dijadikan syarat jatuhnya talak. Sedangkan Allah (swt) berfirman dalam Surah al-Talaq (65): 3, terjemahannya, ” dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil.” Mereka juga berkata,” Iman Abu Bakr jika ditimbang adalah lebih berat dari iman umat ini.” Sekiranya iman khalifah Abu Bakr itu lebih berat dari iman keseluruhan umat ini termasuk iman Umar dan Uthman, kenapa tidak dijadikan kebenaran itu pada lidah Abu Bakr? Di tempat yang lain mereka berkata,” Nabi Saw tidak segan kepada Abu Bakr dan Umar tetapi beliau malu kepada Uthman.”
Pertanyaannya, kenapa Nabi Saw tidak malu kepada orang yang paling berat imannya di dalam umat ini? Dan kenapa Nabi Saw tidak malu kepada orang yang mempunyai lidah kebenaran? Pendapat-pendapat tersebut telah disandarkan kepada Nabi Saw dan ianya bertentangan nas dan hakikat sebenar, karena kebenaran adalah berada di lidah Nabi Saw dan al-Qur’an.
  • Meletakkan Islam ke atas Sahabat bukan Rasulullah (Saw.), mereka berkata: Jika Sahabat itu runtuh, maka runtuhlah Islam keseluruhannya lalu mereka jadikan “aqidah” , padahal Sahabat sendiri berkelahi, caci-mencaci dan berperang sesama mereka.
  • Mengamalkan hukum-hukum Sahabat (Ahkamu-hum) dan Sirah-sirah mereka adalah menjadi Sunnah Ahli Sunnah (al-Baghdadi, al-Farq baina l-Firaq,hlm. 309), sekalipun bertentangan dengan nas, karena “bersepakat” dengan Sahabat adalah menjadi lambang kemegahan mereka. Mereka berkata lagi:”Kami tidak dapati hari ini golongan umat ini yang bersepakat atau mendukung semua Sahabat selain dari Ahlu s-Sunnah wa l-Jama’ah (Ibid,hlm.304). Karena itu Ahlu l-Sunnah adalah mazhab yang mementingkan “persetujuan/ kesepakatan” dari Sahabat sekalipun Sahabat kadang bertentangan dengan nas.
  • Mempertahankan Sahabat sekalipun Sahabat bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW dengan berbagai cara , Jika seorang pengkaji ingin mengetahui kedudukan sebenarnya tentang sahabat itu sebagaimana dicatat di dalam buku-buku muktabar, mereka berkata:” Ini adalah suatu cacian kepada Sahabat sekalipun hal itu telah ditulis oleh orang-orang yang terdahulu.”
Sebaliknya apabila bahan-bahan ilmiah yang mencatatkan sahabat tertentu yang melakukan perkara-perkara yang bertentangan al-Qur’an, mereka menganggapnya pula sebagai cerita dongeng. Lihatlah bagaimana mereka menjadikan sahabat sebagai aqidah mereka walaupun hal itu bukanlah dari rukun Islam dan rukun Iman!
SYI’AH : Memihak kepada Sahabat yang benar di dalam menilai sesuatu urusan/ perkara.

AHL-SUNNAH : Tidak memihak kepada semua sahabat jika terjadi pertengkaran atau peperangan di kalangan mereka (al-Ibanah, hlm. 12; al-Maqalat, II, hlm. 324).

Karena itu pendapat Ahl-Sunnah al-Asy’ari adalah bertentangan dengan firman Allah (swt) dalam Surah al-Hujurat (49):9, yang terjemahannya, “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,” Dan juga bertentangan dengan firmanNya dalam Surah Hud (11): 113, terjemahannya, ” Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, maka kamu akan disentuh api neraka.” Karena itu pendapat al-Asy’ari adalah bertentangan dengan nas karena tidak ada pengecualian di dalam mendukung kebenaran.

“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUMPULKAN UMATKU Di ATAS KESESATAN”
Hadis diatas membuktikan pendukung Imam Ali tidak sesat :
  • Al Quran tidak dapat dipahami dengan tepat tanpa pendampingnya, yakni ahlulbait Rasul yang suci dari kesalahan dalam menafsir
  • Adakah Ali bagian daripada umat ataupun tidak ?
  • Adakah golongan menentang Abubakar cs yang terdiri dari Salman, `Ammar, Abu Dhar, al-Miqdad, Ibn `Ubbad dll termasuk di dalam umat ?
  • Bagaimana anda berhujah dengan hadis tersebut sedangkan orang seperti mereka telah membelakangi Abubakar cs ? Sedangkan umat tidak mencela mereka dan persahabatan mereka dengan Rasulullah adalah baik!
Allah dan Rasulnya mengangkat Imam Ali sebagai Khalifah setelah Rasulullah di Ghadirkhum. Pengangkatan tersebut juga disaksikan oleh Abubakar, Umar dan Usman serta ribuan sahabat lainnya. Ironisnya Abubakar Umar cs melawan pengangkatan Imam Ali secara sembunyi dengan membuat rapat gelap untuk menjauhkan Imam Ali dari kedudukannya sebagai khalifah yang sah.
Akhir-akhir ini perbincangan mengenai madzhab Ahlul Bait (Syi’ah) sedang mengharu-biru. Bermula dari maraknya kontroversi mengenai nikah mut’ah, yang dianggap sebagai nikah yang dibolehkan madzhab Syi’ah, sampai kepada rekomendasi pelarangan madzhab tersebut di tanah air. Sayangnya, dilihat sebagai suatu wacana, perbincangan tersebut lebih diwarnai emosi dan dipenuhi stereotif yang kurang bertanggung jawab. Kajian yang berwawasan, apalagi yang memberi ruang kepada Syi’ah untuk memunculkan perspektifnya, mungkin belum terbuka. Oleh karenanya, menutup kekurangan yang ada, tulisan ini hendak menjelaskan satu perspektif penting Syi’ah, yang berlainan dengan madzhab Ahlu Sunnah wal-Jama’ah (Sunni). Yakni, perspektifnya mengenai shahabat Nabi saw. Perspektif ini secara historis merupakan cikal bakal lahirnya gerakan Syi’ah sendiri.
Berbeda dengan Sunni, yang cenderung tidak membuat penggolongan, Syi’ah mengelompokkan shahabat Nabi saw menjadi empat kelompok. Pengelompokannya itu sendiri didasarkan kepada nilai ‘keadilan’ yang dipraktekkan shahabat semasa Nabi saw hidup hingga menjelang wafatnya. Yang pertama dari kelompok tersebut adalah shahabat yang sangat istimewa, yang juga dikenal dengan istilah Ahlul Bait Nabi saw. Yakni mereka yang karena kekerabatan mereka dengan nabi, ketinggian akhlak dan kemurnian jiwa yang dimiliki dan kekhususan yang telah dikaruniakan Allah dan rasul-Nya kepada mereka hingga tiada satu pun orang yang dapat menyainginya.
Kedua adalah kelompok shahabat yang baik yang telah mengenal Allah dan Rasul-Nya dengan pengetahuan yang sempurna. Ketiga adalah kelompok shahabat yang memeluk Islam dan ikut Rasulullah karena suatu tujuan, baik menginginkan sesuatu atau takut pada sesuatu. Dan yang terakhir adalah kelompok munafik yang “menemani” Rasul karena ingin memperdayakannya.
Karena adanya kondisi dan motif yang berbeda tersebut, Syi’ah menyatakan bahwa tidak semua shahabat adalah adil. Masyarakat muslim tidak sepatutnya menjadi buta tuli terhadap apa yang pernah diperbuat seorang shahabat, terutama dosa dan kezalimannya. Di lain pihak, Sunni berpendapat bahwa para shahabat Nabi saw adalah sama dan sejajar baik dalam kedudukan maupun dalam keadilannya terhadap Islam. Dan tidak seorang pun di antaranya yang diistimewakan, tak terkecuali istri-istri, anak-anak, menantu dan keluarga lain Nabi saw sendiri.
Penggolongan shahabat kalaupun dikenal dalam tradisi Sunni hanya bersifat generatif. Artinya dilihat dari kedekatannya dengan Nabi dalam segi waktu. Sehingga penggolongannya dibagi menjadi golongan shahabat, tabi’in, tabi’at-tabi’in dst. Sebagian membaginya berdasarkan mula pertama masuknya para shahabat ke dalam Islam, seperti tingkatan as-Sabiqun al-Awwalun. Dan ada juga yang membagi bahwa Empat Khulafa’ Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman dan Ali, pada tingkatan yang paling atas dari sekalian shahabat, disusul kemudian oleh enam shahabat lain yang dijamin masuk sorga.
Untuk menjadi wacana yang ‘benar’ dan bermanfaat, tentunya perspektif Syi’ah mengenai shahabat tersebut secara intelektual haruslah mendapatkan sekaligus legitimasi, baik yang bersifat historis maupun futuris. Legitimasi historis mengandaikan bukti intelektual. Yakni adanya indikator untuk menetapkan bahwa ’sejarah’ yang bersangkutan memang ada. Sedangkan legitimasi futuris mensyaratkan bahwa perspektif itu mempunyai implikasi penting sedikitnya bagi masa depan pencerahan Islam, terutama pasca Nabi saw wafat.
Tentang indikasi ketidakadilan menurut Syi’ah dapat dilihat dari beberapa peristiwa berupa pembangkangan, penjatuhan wibawa Nabi, dan yang terpenting adanya penghalangan terhadap Nabi untuk menegaskan wasiatnya dalam bentuk tertulis. Di antara peristiwa tersebut, misalnya peristiwa Perdamaian Hudaibiyah. Sebagian shahabat tidak senang atas penerimaan Nabi saw terhadap persyaratan yang diajukan kafir Quraisy. Umar bin Khattab sampai mendatangi Nabi saw dan berkata: “Apakah benar bahwa engkau adalah Nabi Allah yang sesungguhnya?”. Kemudian setelah berdebat dengan Nabi saw, mengulangi perkataan itu kepada Abu Bakar. Dan ketika beliau menyuruh menyembelih binatang korban yang dibawa para shahabat serta perintahnya untuk mencukur rambut, tidak satu shahabat pun yang mematuhi.
Selanjutnya bentuk ketidakadilan lain dapat dilihat dari adanya motif politis yang menghalang-halangi Nabi saw mengukuhkan wasiatnya agar dituliskan di atas kertas. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Hari Khamis itu, terjadi tiga hari menjelang Nabi saw wafat. Para shahabat berselisih. Sebagian mereka enggan mematuhi Nabi saw, dan bahkan menuduhnya telah meracau sampai Nabi marah sekali dan mengusir mereka dari rumahnya tanpa menuliskan apa-apa. Perkataan Umar Bin Khattab yang menyatakan, bahwa “Nabi sudah terlalu sakit sementara Al-Qur’an ada di sisi kalian, maka cukuplah bagi kita Kitabullah”, menurut Syi’ah merupakan bentuk langsung penolakan hadits Nabi. Yakni yang menyuruh para shahabat berpegang kepada Kitabullah dan Itrah Ahlul Bait Nabi.
Kemudian dua hari menjelang wafat Nabi saw, sebagian shahabat kembali mencela perintah Nabi. Yakni dalam pengangkatan Usamah sebagai komandan ekspedisi untuk memerangi Roma. Menurut para shahabat, bagaimana mungkin Nabi mengangkat orang yang baru berumur delapan belas tahun menjadi komandan para shahabat besar. Nabi saw sampai mengulang-ulang perintahnya, namun para shahabat tetap enggan dan bermalas-malasan di Jurf.
Itulah beberapa peristiwa yang tercatat dalam sejarah Islam. Penting dikemukakan di sini bahwa peristiwa-peristiwa di atas tidak hanya diberitakan oleh sumber-sumber Syi’ah. Shahih Bukhari dan Muslim, yang notabene merupakan sumber terpercaya madzhab Sunni, pun memberitakannya. Mengenai hal ini, DR Muhammad al-Tijani al-Samawi, seorang Wahabi Tunisia yang kemudian menjadi pengikut Syi’ah, mempunyai komentar. Bahwa seandainya orang alim Syi’ah menukilnya dari kitab mereka sendiri, maka aku tidak akan mempercayainya sama sekali. Namun ketika ia nukil dari kitab shahih Ahlu Sunnah sendiri, maka tak ada jalan untuk mencelanya.
+++
Maksud Syi’ah selalu memunculkan peristiwa-peristiwa seperti disebutkan di atas tentu sudah umum diketahui, bahwa yang berhak atas kepemimpinan pasca Nabi adalah Ali bin Abi Thalib. Ali memenuhi kriteria sebagai Itrah Ahlul Bait Nabi yang keadilannya (keutamaannya) tidak disangsikan lagi. Dibandingkan para shahabat lain, orang pasti kesulitan untuk mencari cela, dosa dan kezaliman Ali. Namun sejarah telah berbicara lain, di kala keluarga Ali sibuk mengurus jenazah Nabi saw, Abu Bakar dilantik dengan tergesa-gesa menjadi Khalifah atas prakarsa Umar bin Khattab. Ali sendiri, bersama istrinya Fatimah, putri tercinta Nabi, terpaksa memberikan bai’at atas pengangkatan itu setelah diancam akan dibakar rumahnya.
Sejarah telah berlalu, namun perspektif Syi’ah untuk tetap berpegang pada Itrah Ahlul Bait Nabi dan keadilannya sampai kini tentu mempunyai raison d’etre. Maka sampailah kita kepada persoalan mengenai persyaratan bahwa suatu perspektif mesti mempunyai implikasi untuk menjadi bermanfaat. Tentang hal ini dijawab oleh Syi’ah dengan berbagai fenomena yang terjadi di dunia Sunni. Yang terpenting dan saling berhubungan di antaranya adalah bahwa hilangnya perspektif keadilan para shahabat berpengaruh pada manipulasi data, distorsi penafsiran serta peminggiran wacana dan keteladanan dalam Islam. Hal tersebut bisa dilihat dari hilangnya wacana mengenai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di akhir masa hidup Nabi, yang sudah tentu dalam perspektif Syi’ah dapat menjelaskan keberpihakannya kepada Ali. Bahkan pemberitaan mengenai peristiwa di akhir masa hidup Nabi dalam dunia Sunni cenderung ditutup-tutupi dengan alasan “menjaga segala kemuliaan para shahabat”.
Konsekuensi lain adalah pengaruhnya atas kualitas kepemimpinan pasca Nabi. Menurut Syi’ah, Sunni pasti kesulitan untuk mencari alasan, bilamana dipertanyakan tentang apa dasar dan alasan keabsahan khilafah Abubakar misalnya. Tidak demikian apabila pertanyaan semacam itu dipertanyakan kepada Syi’ah atas penetapannya pada khilafah Ali, yang alasan dan dasarnya terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Oleh karenanya khilafah pasca Nabi versi Sunni kehilangan legitimasinya ketika ia dikembalikan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Yang berkembang kemudian dalam pemikiran politik Sunni adalah ijtihadz tanpa dasar dengan alasan yang semena-mena. Contoh paling ekstrim mengenai ini adalah tragedi pembantaian cucu Nabi, Husein, oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Atas pembantaian itu Sunni cukup memberi alasan bahwa Yazid sedang berijtihadz. Bilamana ia benar maka mendapat dua pahala, sedangkan bilamana salah mendapat satu pahala. Padahal terdapat Sunnah Nabi yang menyuruh kaumnya untuk mencintai ahlul bait Nabi. Kesimpulan Syi’ah mengenai hal ini adalah bahwa Sunni telah mengalahkan Sunnah Nabi dengan ijtihadznya.
Lebih jauh lagi adalah adanya peminggiran wacana dan keteladan Ahlul Bait Nabi. Siti Fatimah, yang oleh Nabi sendiri digelari “ibu bagi ayahnya” karena kecintaan dan ketakdhiman putrinya tersebut kepada beliau, jarang sekali menjadi rujukan dan kajian di dalam Sunni. Adanya pembekuan madzhab fiqh menjadi empat madzhad di dalam Sunni, yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali, menurut Syi’ah adalah juga konsekuensi langsung dari peminggiran Ahlul Bait Nabi. Padahal ada sumber penting yang lebih dekat, baik secara kekerabatan maupun waktu, yakni Imam Jafar al-Shadiq, yang tidak lain adalah cicit Nabi dari keturunan Fatimah. Bahkan sejarah sendiri mencatat bahwa keempat imam madzhab merupakan murid-murid Imam Jafari’, sehingga Imam Jafari’ digelari “guru para imam”.
Dari uraian di atas, dengan demikian menjadi jelas bagi Syi’ah, bahwa perspektif mengenai keadilan para shahabat mempunyai legitimasi historis maupun futuris. Dan perspektif itu baginya tidak hanya berhenti dalam masalah khilafah Ali saja. Pada kenyataan historis dan sosiologis, eliminasi perspektif itu akan berpengaruh pada ruang waktu yang lebih luas, serta pencerapan kebenaran Islam yang lebih dalam.