Salah satu faktor yang menyebabkan syahadah Imam Jawad as adalah
kemampuan ilmunya. Karena kelebihan yang dimilikinya membuat Mu'tashim,
Khalifah waktu itu tampil lemah dan bodoh di hadapan beliau. Terlebih
lagi banyak yang diam-diam mengakui kekkhalifahan hak Imam Jawad as, dan
bukan milik Mu'tashim. Tidak hanya itu, keilmuan Imam Jawad as dengan
sendirinya melemahkan ulama istana Bani Abbasiah. Kelebihan beliau
tampak dalam diskusi-diskusi yang dihadiri para ulama yang
diselenggarakan pihak istana.
Zarqan yang berteman
dekat dengan Ibnu Abi Dawud mengatakan, "Suatu hari Ibnu Abi Dawud
kembali dari majelis Mu'tashim dengan wajah kusut. Melihat kondisinya
yang demikian, saya bertanya, ‘Apa yang menyebabkan engkau terlihat
kusut?"
Ibnu Abi Dawud menjawab, "Hari ini saya berharap telah meninggal 20 tahun yang lalu."
"Mengapa,'" tanyaku.
"Ini semua karena apa yang dilakukan oleh Abu Jakfar (Imam Jawad as) di majelis Mu'tashim," jawabnya.
Saya bertanya, "Memangnya apa yang terjadi di sana."
Ibnu Abi Dawud menjelaskan:
"Ada seorang pencuri yang mengakui perbuatannya. Pencuri itu meminta
kepada Khalifah Mu'tashim untuk menerapkan hukumannya. Untuk itu
Khalifah memanggil semua ulama dan Muhammad bin Jakfar (Imam Jawad as)
juga diundang. Khalifah kemudian bertanya kepada kami dari mana harus
dipotong tangan pencuri itu?
Saya menjawab, "Dari pergelangan tangan."
Khalifah bertanya lagi, "Apa dalilmu?"
"Karena maksud dari tangan dalam ayat Tayammum "Famsahuu Bi Wujuuhikum Wa Aidiikum" hingga ke pergelangan tangan," ujarku.
Sebagian besar ulama setuju dengan pendapatku. Mereka mengatakan, "Tangan pencuri harus dipotong dari pergelangan tangannya."
Tapi kelompok yang lain mengatakan, "Tangannya harus dipotong dari siku."
Ketika Mu'tashim bertanya dalil dari pendapat mereka, dengan sigap mereka menjawab, "Maksud dari tangan dalam ayat Wudhu "Faghsiluu Wujuuhakum Wa Aidiikum Ilal Maraafiq" sampai pada siku."
Setelah itu Mu'tashim melihat ke arah Muhammad bin Ali as dan bertanya kepadanya, "Apa pendapatmu dalam masalah ini?"
Beliau menjawab, "Mereka telah menyampaikan pendapatnya. Tidak perlulah saya berpendapat."
Mu'tashim bersikeras dan bersumpah agar beliau menyatakan pendapatnya.
Muhammad bin Ali as berkata, "Karena engkau telah bersumpah, maka saya
akan menyampaikan pendapatku. Saya katakan bahwa pendapat mereka semua
salah. Karena hanya jari-jari pencuri saja yang harus dipotong."
Mu'tashim bertanya, "Apa argumentasimu?"
Ia berkata, "Karena Rasulullah Saw bersabda, ‘Sujud harus dilakukan
dengan tujuh anggota badan. Oleh karenanya, bila tangan pencuri dari
pergelangan atau siku harus dipotong, maka ia tidak punya tangan lagi
untuk menunaikan shalat dan bersujud. Allah Swt juga berfirman, ‘Al-Masajid Lillah Falaa Tad'u Ma'allahi Ahadan'
(Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah)
Allah. QS. 72: 18)"
Ibnu Abi Dawud berkata,
"Mu'tashim menerima jawaban yang disampaikan Muhammad bin Ali dan
memerintahkan agar jari-jari pencuri dipotong. Menyaksikan itu saya
berharap tiba-tiba mati di sana."
Tiga hari berlalu.
Ibnu Abi Dawud menemui Mu'tashim dan berkata, "Sudah merupakan kewajiban
bagi saya untuk senantiasa mengharapkan kebaikan Amirul Mukminin. Saya
ingin berbicara dengan Baginda demi kebaikan, sekalipun saya tahu dengan
ucapan ini saya akan dilemparkan ke api neraka."
Mu'tashim bertanya, "Pembicaraan tentang masalah apa?"
Ibnu Abi Dawud berkata, "Bagaimana mungkin terkait masalah agama yang
baru-baru saja terjadi, Amirul Mukminin menolak ucapan seluruh ulama dan
menerima pendapat dan hukum seorang pria yang mengaku ia lebih layak
menjadi Khalifah dari Amirul Mukminin dan setengah dari masyarakat
meyakini Imamahnya?"
Mendengar ucapanku, air muka
Mu'tashim langsung berubah. Ia mengerti peringatan yang saya sampaikan
kepadanya dan berkata, "Semoga Allah memberikan pahala kebaikan atas
niat baikmu ini."
Setelah pertemuan itu, Mu'tashim memutuskan untuk membunuh Muhammad bin Ali.
Sumber: (IRIB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik dan Berintelektual