Oleh: Musa Kazhim
Salah satu aspek
penting dalam strategi Imam Husein adalah waktu gerakan yang beliau
pilih untuk pergi dari Madinah menuju kesyahidannya di Karbala. Di sini
saya hanya akan memberikan gambaran umum tentang rahasia pilihan waktu
itu, agar kita benar-benar menyadari bahwa Imam Husein memang memilih
tiap langkahnya dengan kehendak bebas, cerdas dan jitu. Tiap langkah
beliau berperan penting bagi kesuksesan misi beliau mengelektrifisir
semangat perlawanan umat terhadap kezaliman.
Pertama,
sejarah merekam bahwa Imam Husein pergi meninggalkan Madinah menuju
Mekkah pada hari ketiga bulan Sya'ban tahun 60 Hijriah. Mulai hari itu
sampai tanggal 8 Dzul Hijjah tahun 60 Hijriah beliau menetap di Mekkah.
Di kota suci ini, Imam Husein bertemu dengan ribuan kaum Muslim dari
berbagai penjuru dunia. Beliau juga memberikan berbagai wejangan,
sekaligus menjelaskan falsafah gerakan perlawanannya. Jelas bahwa
keberadaan beliau di Mekkah pada bulan-bulan suci itu merupakan bagian
dari rencana matang yang telah beliau persiapkan sejak semula.
Seperti sudah kita ketahui bersama, Sya'ban dan Ramadhan adalah dua
bulan yang banyak mengandung nilai kesucian dalam Islam. Pilihan beliau
untuk berangkat dari Madinah pada awal Sya'ban itu sama sekali tidak
boleh dipandang sebagai kebetulan belaka. Pilihan itu jelas sekali untuk
mendukung dan memperjelas posisi kesucian gerakan beliau.
Rajab, Sya'ban dan Ramadhan adalah tiga di antara 12 bulan Islam yang
dianggap sebagai bulan-bulan ibadah. Tapi, di antara ketiganya, bulan
Ramadhan jelaslah yang paling bernilai. Di bulan inilah Allah
memerintahkan manusia untuk berpuasa; berpuasa dari kelalaian,
kebodohan, kesombongan, pencarian dunia. Dalam banyak hadis, Nabi
menyatakan bahwa ibadah yang terbaik adalah bertafakur dan mengekang
diri dari segenap larangan-Nya, agar kemudian kita dapat berbuka dengan
pencerahan dan kesadaran baru.
Sudah barang tentu
tidak ada waktu yang lebih tepat untuk mengingatkan kaum Muslim akan
kerusakan yang ditimpakan oleh kekuasaan Yazid atas Islam selain bulan
Ramadhan. Selain akan mendukung pesan-pesan suci beliau, di bulan ini
kebanyakan kaum Muslim berada pada tingkat kesucian yang lebih dari
biasanya. Di bulan suci ini, Imam Husein ingin mengingatkan umat akan
kewajiban tertinggi Islam yang merupakan konsekuensi langsung dari
tauhid, yaitu menegakkan keadilan dan melawan penindasan.
Kedua, Imam Husein juga memilih pekan pertama bulan Dzul Hijjah,
tepatnya tanggal 8, untuk memulai perjalanannya menuju Kufah. Kita tahu
bahwa ibadah haji mempunyai dimensi sosial, politik dan ekonomi yang
sangat kental. Pada momen ini, Imam Husein mulai mengumandangkan
manifesto gerakannya. Lebih lagi, kita tahu bahwa dalam ibadah haji ini
Allah memerintahkan kita untuk menyatakan bara'ah (lepas tangan) dari
kaum Musyrik dan segala kejahatan. Nah, memilih bulan ini untuk
menyerukan perintah bara'ah sangatlah strategis dan tepat sasaran.
Manakala banyak Muslim berihram untuk melaksanakan ibadah haji, cucu
Nabi ini justru meninggalkan Mekkah. Beliau hanya melakukan umrah dan
tidak melanjutkan haji. Setelah bertawaf mengelilingi Ka'bah dan
melakukan sai antara Shafa dan Marwa, beliau melepas ihram. Kejutan
seperti ini beliau pakai untuk menambah bobot dalam gerakannya. Beliau
berharap masyarakat Muslim bertanya-tanya dan mencari alasan di balik
pilihan ini.
Di hadapan para jamaah haji yang datang
menemuinya waktu itu, Imam Husein mengatakan bahwa tidak ada yang dapat
beliau lakukan kecuali beranjak menyambut kesyahidan. Di hari terakhir
keberadaannya di Mekkah, Imam Husein berkata: "Aku bisa melihat
serigala-serigala padang pasir Irak menyerangku di antara Nawawis dan
Karbala dan merobek-robek tubuhku. Mereka melakukannya demi memenuhi
kantong-kantong harta mereka. Urusan mereka adalah memuaskan kerakusan,
sedangkan urusanku adalah melawan kerusakan dalam masyarakat dan agama
ini. Allah telah memilih kesyahidanku sebagai penyembuh dan jalan
perbaikan keadaan… Hanya orang yang siap mengorbankan nyawanya di jalan
Allah yang akan menemaniku."
Sebagian pengamat
menyatakan bahwa beliau tidak ingin para kolaborator Yazid merusak
kesucian Mekkah dan membunuhnya di sana. Beliau khawatir tindakan itu
akan menjadi preseden buruk bagi Islam di kemudian hari. Tapi, agaknya,
upaya beliau meninggalkan ihram dan berangkat menuju Kufah pada tanggal 8
itu juga untuk menunjukkan sikap yang lebih fundamental: bahwa apa yang
beliau lakukan lebih penting ketimbang semua ibadah ritual apapun.
Beliau sedang melakukan penyelamatan Islam dari tangan-tangah para
durja. Dan ini memang tampak jelas bagi siapa saja yang pada waktu itu
berkumpul mendengarkan ceramah-ceramah Imam di Mekkah.
Saat Muhammad bin Hanafiyah memberitahukan bahwa orang-orang Mekkah dan
jamaah haji bertanya-tanya mengapa dia pergi sehari sebelum hari raya
Haji, Imam meninggalkan surat kepada saudaranya yang menerangkan
maksudnya dengan jelas. Surat itu antara lain berisi: "Aku tidak keluar
untuk melakukan huru-hara atau penindasan. Aku ingin membawa umat ini
kembali ke jalan amar makruf nahi munkar. Aku ingin mengajak mereka ke
jalan kakekku Rasulullah dan ayahku Ali bin Abi Thalib."
Ketiga, Imam Husein tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharam. Dan Muharam
adalah bulan hijrah Nabi yang kemudian dijadikan tahun baru Islam. Imam
Husein memilih tiba di sana pada awal Muharam untuk tujuan yang juga
sangat penting. Salah satu tujuannya ialah mengaitkan hijrahnya dengan
hijrah Nabi. Imam Husein ingin mengingatkan kita pada tujuan hijrah Nabi
ke Madinah yang tak lain adalah membangun masyarakat Islam yang
berkeadilan. Nabi tidak berhijrah untuk kekuasaan atau sejenisnya,
demikian pula Imam Husein.
Tahun baru Islam ini juga
beliau jadikan momentum untuk menyegarkan kembali kesadaran umat akan
Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Setidaknya ada dua esensi Islam yang
didengung-dengungkan oleh Imam Husein sepanjang perjalanannya, (a)
tauhid, yakni tiada tuhan dan penguasa selain Allah dan bahwa semua
kekuasaan yang tidak tegak di atas perintah Allah adalah kekuasaan yang
zalim; dan (b) tidak ada keunggulan satu manusia atas manusia lain
kecuali dengan ketakwaan. Dan seperti kita tahu, ketakwaan dalam Islam
merupakan istilah generik untuk semua kebajikan.
Kita
tahu bahwa di zaman itu umat Islam diterpa oleh fitnah Jahiliah yang
mempermainkan sentimen kesukuan, fanatisme kelompok dan semangat
regional. Banyak kalangan masyarakat Arab yang kembali menjalin afinitas
berdasarkan hubungan-hubungan seperti ini, sehingga Imam Husein
mendesak semua orang untuk tidak berpikir dengan landasan konyol seperti
itu.
Sejak Nabi wafat sampai kebangkitan Imam Husein,
masyarakat Islam sering terpecah berdasarkan suku (tribalisme), mujahir
versus non muhajir (partisanisme), Kufah versus Syam (regionalisme),
dan sebagainya. Seperti juga kakeknya, Imam Husein hendak menyatakan
bahwa kelebihan atau kekurangan orang adalah konsekuensi pilihan
bebasnya sendiri, bukan berpijak pada hal-ihwal yang tidak bisa dipilih
seperti garis keturunan, tempat kelahiran dan semacamnya. Selain itu,
baik Nabi maupun Imam Husein sebenarnya sama-sama bergerak untuk
menyambut permintaan warga setempat. Mereka sama-sama bergerak dengan
niat melayani, bukan memerintah atau menguasai.
Pada
kali pertama perjumpaannya dengan pasukan Ibn Ziyad di Karbala, Imam
Husein berseru sebagai berikut, "Ingatlah, bila kalian melihat penguasa
melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya, bergelimang dosa dan menindas
rakyat yang dipimpinnya, tapi kalian tidak berbuat apa-apa untuk
menghentikan penguasa macam itu, maka di hadapan Allah kalian dan dia
sama-sama berdosa." Lalu beliau menambahkan: "Orangtuaku tidak
membesarkanku untuk tunduk pada penindas yang keji. Aku adalah Imam
kalian dan sudah menjadi kewajibanku untuk memberitahu kalian bahwa
kalian telah menyerahkan kemerdekaan pikiran kalian pada cara-cara jahat
Yazid. Jika kalian tidak peduli pada Islam, dan tidak takut hari
perhitungan, maka setidaknya pedulilah pada karunia Allah yang berharga
bagi kalian, yakni kemerdekaan jiwa kalian!"
Di
samping kerupaan tujuan, hijrah Nabi dan hijrah Imam Husein juga
memiliki keserupaan dalam pola dan metode. Misalnya, keduanya sama-sama
mengutus delegasi untuk memastikan kesiapan warga setempat, melakukan
inspeksi lapangan dan menemui pimpinan suku-suku setempat.
Kesimpulannya, yang jelas, siapa saja yang membaca sejarah hijrah Nabi
dan gerakan Asyura akan menemukan sekian banyak keserupaan, baik dalam
tujuan maupun pola gerakan. Pemimpin Hizbullah, Sayyid Hasan Nahsrullah,
dalam seri ceramah Asyura 1429 H. telah mengupas berbagai titik
persamaan antara kedua hijrah tersebut.
Aspek penting
lain dalam gerakan Imam Husein adalah tempat-tempat yang beliau lalui
menuju Karbala. Belum ada riset luas mengenai signifikansi khas
masing-masing tempat tersebut, tapi jelas bahwa posisi geografis Karbala
memiliki arti penting bagi strategi dan keberhasilan gerakan Imam
Husein.
Marilah kita mulai dengan kota yang paling
penting, Mekkah. Sebagai Muslim, kita percaya bahwa inilah tempat paling
suci di muka bumi. Inilah tempat pertama yang Allah bangun sebagai
rumah ibadah. Di sini Nabi Ibrahim melakukan ibadahnya yang mencerminkan
tauhid dan melakukan pengorbanan terbesarnya, berupa penyembelihan
Ismail. Inilah kiblat, tempat ibadah haji dan berkumpulnya manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dan dari sini pula Nabi mengawali
perjuangannya menyebarkan ajaran tauhid.
Keberangkatan
Imam Husein dari Mekkah semakin mempertegas keserupaan kedua hijrah
ini. Imam ingin menjaga keserupaan ini dalam semua dimensinya, termasuk
secara lahiriah, sedemikian hingga ingatan tentang hijrah akan membawa
orang pada ingatan tentang Asyura. Pilihan Mekkah sebagai titik tolak
ialah untuk meletakkan hijrah Nabi dan Asyura dalam satu lingkaran misi
yang utuh. Barangkali dalam koteks inilah seharusnya kita memahami hadis
Nabi yang berbunyi, "Husein dariku dan aku dari Husein. Allah mencintai
siapa saja yang mencintai Husein."
Setelah beranjak
dari Mekkah, ada 13 persinggahan lain yang Imam Husein lalui sebelum
tiba di Karbala. Saya akan mengutip beberapa di antaranya dari Route of
Imam Hussain (A.S) from Makkah to Karbala karya Syed MR Shabbar.
Persinggahan pertama Imam Husein adalah Saffah. Di sini Imam bertemu
dengan Farazdaq, penyair Arab yang ditanyai oleh Imam tentang keadaan
penduduk Kufah. Mendengar kata-kata Farazdaq yang sudah kita kutip di
atas, Imam menjawab, "Allah telah mengambil keputusan. Aku serahkan
nasibku kepada-Nya yang telah memberiku alasan yang benar untuk
bergerak."
Selanjutnya Imam singgah di Dzat Al-Irq. Di
tempat ini beliau bertemu dengan Abdullah bin Jafar yang menyerahkan
dua anak lelakinya, Auwn dan Muhammad, kepada ibunya, Sayidah Zainab,
untuk membantu Imam. Abdullah membujuk Imam untuk kembali ke Madinah
tetapi Imam menjawab, "Nasibku di tangan Allah." Di Zurud, kota atau
desa berikutnya, Imam bertemu dengan Zuhair bin Qain. Zuhair bukan
termasuk pengikut Ahlulbait. Tapi, ketika Imam memberitahukan tujuan
perjalanannya, Zuhair menitipkan semua hartanya kepada istrinya dan
menyuruhnya pulang sendirian, karen dia berniat menjadi syahid bersama
Husein.
Sesampainya di Zabala, tidak jauh dari Zurud,
Imam mendengar berita syahadah Muslim bin Aqil, utusannya untuk menengok
warga Kufah. Imam berkata, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
‘Indallahi nahtasib anfusana." (Kita berasal dari Allah dan pasti
kembali kepada-Nya. Kepada-Nyalah kita pasrahkan diri kita). Seorang
dari suku Asadi mencoba membujuk Imam untuk balik, tapi beliau tak
bergeming. Di sini Imam memberitahukan sahabatnya itu tentang kematian
Muslim bin Aqil dan Hani dan bahwa orang Kufah telah berkhianat. Imam
berkata,"Siapa yang ingin pergi, silahkan." Kumpulan orang dari berbagai
suku yang ikut dalam perjalanan dengan harapan mendapatkan pampasan
perang menyadari harapan mereka menemui jalan buntu. Mereka pun akhirnya
berpencar pulang. Hanya 50 orang yang tetap tinggal bersama Imam
Husein.
Lalu Imam bermalam di Sorat dan pagi harinya
beliau memerintahkan para sahabatnya untuk membawa air sebanyak mungkin.
Tak jauh dari Sorat, tepatnya di desa Zuhasm, Imam bertemu dengan
al-Hurr yang membawa pasukan 1000 orang. Mereka kehausan lalu Imam
memerintahkan para sahabat untuk memberi air pada mereka. Imam sendiri
menolong beberapa tentara yang kehausaan untuk minum. Bahkan binatang
mereka pun diberi minum. Selepas shalat Zuhur berjamaah, Imam
mengabarkan pada al-Hurr tentang surat-surat yang dia terima dari Kufah.
Beliau berseru,"Wahai warga Kufah, kalian kirim delegasi dan ratusan
surat untuk menyatakan bahwa kalian tidak punya pemimpin dan memintaku
datang untuk memimpin kalian di jalan Allah. Kalian menulis bahwa kami
Ahlulbait lebih pantas mengendalikan urusan kalian daripada para pelaku
kezaliman dan kebatilan. Tapi, jika kalian mengubah putusan, mengabaikan
hak kami dan melupakan janji kalian, maka aku akan kembali."
Keesokan harinya, Imam Husein sampai di Baiza dan memberikan khutbahnya
yang terkenal. "Wahai manusia, Nabi telah berkata bahwa jika seseorang
menjumpai pemimpin tiran, menyeleweng dari jalan Allah dan Nabi dan
menindas orang, tapi kalian tidak melakukan apa-apa lewat perkataan atau
tindakan untuk mengubahnya, maka keadilan Allah yang akan menghukumnya.
Tidakkah kalian melihat nistanya keadaan kalian… Tidakkah kalian
perhatikan bahwa kebenaran tidak diikuti dan kebatilan berlaku tanpa
batas. Aku akan mencari syahada, karena hidup di tengah kesesatan
tidaklah berarti apa-apa kecuali kesedihan dan penderitaan."
Di Uzaibul Hajanat, Imam bertemu dengan Tsimmah bin Adi. Setelah
mengetahui Kufah telah menelantarkan utusannya, Muslim bin Aqil, Imam
tidak lantas kecil hati. Saat Trimmah menawarkan bantuan 20.000 tentara
terlatih dari sukunya untuk mengiringi Imam ke Kufah atau berlindung di
pegunungan, Imam menjawab, "Semoga Allah memberkahimu dan orang-orangmu.
Aku tidak bisa menarik kata-kataku." Dari jawaban ini jelas bahwa Imam
mengerti sepenuhnya situasi yang bakal dia hadapi. Dia juga telah
mempersiapkan strategi jitu untuk mengadakan revolusi demi penyadaran
kaum Muslim. Dia tidak mencoba memobilisasi pasukan militer yang dapat
dengan mudah dia lakukan sejak di Hijaz, sebagaimana dia juga tidak
mengambil kesempatan mendapatkan kekuatan militer baru.
Pada hari pertama Muharam, Imam dan rombongan tiba di wilayah Nainawa.
Rombongan melanjutkan prosesi melewati Ghadiriyah menuju lokasi yang
disebut dengan Karbala. Sebelum berhenti, Imam menanyakan nama lokasi
itu. Seseorang memberitahunya bahwa tempat itu bernama Karbala. Imam
lalu menjawab, "Memang, inilah tempat karb wa bala (kegelisahan
dan prahara). Mari kita berhenti di sini karena kita telah tiba di
tujuan. Ini adalah tempat kesyahidan. Inilah Karbala."
Karbala adalah sebuah tempat yang unik dalam sejarah manusia. Nama-nama
lain wilayah ini adalah Nainawa, al-Ghadiriyah dan Tepian Furat
(syathi'ul-furât). Masing-masing nama itu sepertinya merujuk pada salah
satu karakteristik wilayah tersebut. Sebagai pembukaan, saya akan
mengutip pasase dari tulisan Abdullah Yusuf Ali, penerjemah al-Qur'an
yang sangat terkenal itu.
"Dalam rangka memberikan
gambaran geografis seputar tempat tragedi besar ini terjadi, saya merasa
beruntung punya ingatan pribadi tentangnya. Semua ingatan itu
mempertegas gambaran di benak saya, dan mungkin bisa juga membantu Anda.
Ketika saya mengunjungi tempat-tempat itu pada tahun 1928, saya ingat
datang dari Baghdad melalui seluruh titik yang dilewati oleh sungai
Eufrat. Saat saya menyeberang sungai dengan perahu di Al-Musaiyib pada
pagi cerah bulan April, benak saya meloncat ke abad-abad silam. Di sisi
kiri aliran sungai itu ada tanah tua dari sejarah Babilonia, stasiun
kereta Hilla dan reruntuhan kota Babilon. Di situ Anda menyaksikan salah
satu peradaban kuno terbesar. Lantaran mungkin bercampur debu, baru
beberapa tahun terakhir ini kita menyadari kebesaran dan keagungan
tempat itu.
Lalu di situ Anda menemukan arus besar
sungai Eufrat, yang dinamai dengan Furat, sebuah sungai yang tiada
bandingnya. Sumber air yang berhulu dari berbagai tempat di pegunungan
Armenia Timur, mengalir meliuk-liuk melewati daerah perbukitan, dan
akhirnya menyusuri gurun pasir, seperti yang kita ketahui sekarang. Di
tiap cabang atau anak sungainya, ia mengubah gurun menjadi daerah
perkebunan buah-buahan. Dalam ungkapan indahnya, Eufrat telah membuat
gurun pasir mekar seperti mawar. Sungai ini menyusur sampai ujung Timur
gurun Suriah lalu mengalir ke rawa-rawa.
Di bagian
yang tidak jauh dari Karbala sendiri terdapat danau-danau yang menampung
air dan menjadi sumber air untuk keperluan hidup. Ke bawah lagi sungai
ini bersatu dengan sungai lainnya, yaitu Tigris, dan gabungan aliran
sungai ini dikenal sebagai Shatt al-Arab yang mengalir sampai ke Teluk
Persia."
Tapi gambaran geografis Abdullah Yusuf Ali
itu belum menjelaskan rahasia tempat ini, dan mengapa sebenarnya Imam
memilih Karbala sebagai tanah kesyahidannya? Ada banyak teori yang
dikemukakan untuk menjawab soal ini. Secara umum, ada dua teori saling
berhubungan yang mencoba menyingkap rahasia tempat itu. Pertama, tempat
ini dipilih berdasarkan isyarat Ilahi yang diterima oleh Nabi tentang
kesyahidan Imam Husein. Karena itu, saat mendengar nama Karbala, Imam
yang pernah mendengar isyarat Ilahi itu dari Nabi langsung meminta para
sahabatnya untuk mendirikan tenda dan menetap di situ. Menurut teori
ini, ada misteri Ilahi yang agung dalam pemilihan tempat tersebut.
Kedua, sejalan dengan teori pertama, Imam memilih tempat ini karena ia
berada di wilayah paling tua dalam sejarah manusia, yakni Mesopotamia.
Seperti sudah kita tahu, di Mesopotami itulah manusia mulai pertama kali
mencatat sejarahnya sekitar 3500 tahun sebelum Masehi. Sejak ribuan
tahun itu pula, manusia telah membangun ratusan peradaban di sungai
Eufrat dan Tigris. Para ahli sejarah menyebut Mesopotamia (secara
harfiah berarti, ‘di antara dua sungai') sebagai cradle of civilization
(buaian peradaban). Jadi, Karbala dipilih dengan kesadaran penuh Imam
akan sebuah konteks trans-historis dari misi yang diembannya. Imam sadar
betul bahwa Karbala dapat menjadi lambang keabadian misinya. Semua
manusia tertindas di muka bumi ini dapat mengaitkan dirinya dengan tanah
persaksian itu. Dan karena itu, setelah peristiwa Asyura, di mana-mana
kita mendengar slogan, "Kullu yaumin ‘Asyura wa kullu ardhin Karbala."
(Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala).
Edward G. Brown, seorang profesor di University of Cambridge pernah
menulis: "…ingatan akan padang Karbala yang bersimbah darah, tempat cucu
Rasul gugur, tak berdaya, disiksa oleh dahaga, dan dikerubungi oleh
para pembunuh keluarganya, sejak waktu itu hingga sekarang ini, tetap
memadai untuk menimbulkan, sekalipun di hati orang yang paling suam dan
tak peduli, sebuah emosi yang terdalam, kesedihan yang meluap-luap, dan
kebangkitan semangat yang di hadapannya semua rasa sakit, bahaya, dan
kematian menjadi demikian remeh."
Sumber: (IRIB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik dan Berintelektual